Selasa, 09 Januari 2018

Melihat Kembali Pluralisme vs Ekslusivisme

https://www.google.co.id

Jika membahas mengenai ekslusivisme, maka tidak bisa terlepas dari pembahasan mengenai pluralisme yang merupakan pengembangan dari inklusivisme, sebagaimana dikemukakan oleh John Hick. bahwa, agama adalah jalan menuju keparipurnaan (the ultimate) yang sama. John Hick mengutip rumi rumi yang menyatakan "lampu-lampunya berbeda namn cahayanya sama; ia datang dari atas." Menurut Hick, "Sang Wujud" yang merupakan "tujuan akhir pandangan beragama", merupakan konsep uiversal (Husaini, 2005:335)
Pluralism merupakan kata yang diambil dari Bahasa inggris yang mempunyai tiga pengertian, pertama pengertian kegerejaan, kedua pengertian filosofis, ketiga pengertian sosio-politis, dan dari ketiga segi pengertian tersebut yang paling mendekati kepada pembahasan kali ini yaitu pengertian sosio-politis yang berarti pluralism adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakterisitik diantara kelompok-kelompok tersebut (Thoha, 2005:12).
Cara pandang pluralisme berasumsi bahwa semua agama yang ada ialah benar sama-sama menuju tuhan yang sama. Menurut penganut paham ini semua agama memiliki jalan yang berbeda-beda dalam mempersepikan kerelatifan akan ketuhanan yang mutlak keberadaannya. Karena kerelatifan inilah maka setiap penganut agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanyalah yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain atau mengklaim bahwa agamanyalah yang hanya menunjukan kepada kesamatan, bukan agama lain.
Sedangkan ekslusivisme sendiri ialah suatu pandangan dalam beragama yang meyakini keunggulan dari kebenaran ajaran-ajaran yang dianut, sekaligus menegasikan ajaran serupa dari agama lain, sehingga ada kecenderungan untuk melahirkan tindakan yang berbeda dan terpisah ketika berkoeksistensi dalam masyarakat plural.
Memang tidak bisa dilepas dari kenyataan dalam setiap kehidupan beragama, bahwa setiap agama akan mengajarkan dan menyampaikan doktrin kepada setiap penganutnya akan kebenaran agama tersebut dalam kata lain ialah bahwa cara pandang ekslusiv ini sudah barang tentu menjadi hal yang mendasar dalam setiap agama dalam mempertahankan eksistensiya dari agama lain.
Dan harus diakui bahwa eksklusifisme dibutuhkan ketika berbincang tentang teologi, karena memang wilayah paham eksklusifisme berada pada kesadaran yang tentunya mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap realitas, agar bisa mempertegas fungsi teologis suatu agama dalam masyarakat. Oleh karena itu, wajar bila paham seperti ini terkesan lebih kaku dan tidak fleksibel. Sedangkan paham inklusif lebih berada pada wilayah sosial atau integrasi umat beragama, sehingga nantinya diharapkan lahir tindakan yang lebih konstruktif.

      Implikasinya dalam Beberapa Agama
Berbicara mengenai implikasi ekslusivisme dalam beragama, maka hendaknya kita ketahui mengenai arti dari implikasi itu sendiri. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia implikasi berarti keterlibatan atau keadaan terlibat, yang berarti juga praktek dalam kehidupannya dimasyarakat.
Kristen protestan contohnya, dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan. Islam dengan statemen dalam al-Qur’an surat Ali Imran : 85, yang artinya “hanya dengan meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (ber-Islam) kepada Allah SWT sajalah seseorang bisa mendapatkan keselamatan.”. Paham seperti ini dinamakan juga dengan ekslusivisme agama dimana setiap penganut agama menyatakan atau mengklaim bahwa agama yang dianutnya sajalah yang menunjukan pada jalan keselamatan dan tidak ada keselamatan diluar agama itu. Paham- paham seperti pluralism, liberalism, ekslusivisme serta inklusivisme ini muncul akibat semakin berkembangnya kemampuan akal manusia dalam berfikir dan menentukan hal- hal yang menurut mereka benar dan data membawa mereka pada kahidupan yang mereka inginkan.
Klim-klaim kebenaran atas teks suci suatu agama, pada gilirannya membawa kepada dislokasi nilai agama kepada semangat otoritarianisme keagamaan dengan menindas atau memaksakan kehendak kepada kelompok agama lain. Misi agama yang katanya ingin menyelamatkan umat manusia dari kenistaan, justru dengan model klaim kebenaran semacam itu membawa umat manusia pada sikap saling menghancurkan sesama manusia untuk berperang atas nama agama atau bahkan atas nama tuhan(keselamatan) itu sendiri. Dalam skala yang lebih luas, sikap otoritarianisme keagamaan yang demikian itu, nampak dalam sikap anti dialogis baik kepada umat agama lain maupun terhadap kalangan sendiri dari kelompok(madzhab) yang berbeda.
Adalah wajar bila “ekslusivisme” agama-agama dimaknai sebatas suatu ciri identitas kelompok sepanjang tidak saling menegasikan kebenaran identitas kelompok lainnya yang masih ada dan tumbuh bersama-sama “ekslusivisme” agama merupakan sebuah keniscayaan untuk pencarian realitas tertinggi sehingga ia hanyalah sebuah khazanah antar-iman. Persoalannya, ekslusivisme agama menjadi terasa buruk ketika masing-masing kelompok agama yang berbeda saling berebut kebenaran (Bincar, Tantangan Penyuluh Agama dalam Menghadapi Ekslusivisme Agama)

      Bagaimana Menyikapinya?
Paha ekslusiv dalam beragama memang menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan lebih, mengingat akan besarnya dampak negatif yang timbul dari paham ini. Paham ini memang tidak bisa dinafikan keberadaannya dalam beragama khususnya dalam lingkup kepercayaan akan ketuhanan yang esa, namun terdapat beberapa cara untuk menyikapi paham ekslusiv ini diantaranya:
a.       Transparansi antar agama dalam hal-hal yang menjadi pokok dalam setiap agama sehingga setiap penganut agama mengetahui dan memahami situasi dan kondisi agama lain.
b.      Kesadaran bahwasannya perbedaan atau keanekaragaman ajaran agama ialah karunia dari tuhan yang maha esa, dengan demikian hendaknya semua umat saling berlomba-lomba dalam kebajikan dan untuk mencapai kemuliaan.
c.       Memberikan kepada setiap penganut agama apapun keluasan dalam menjalankan agama mereka selama saling menghormati dan tidak bercampur tangan atau bahkan menimbulkan kerusakan bagi agama lain.

Dan cara terpenting untuk menyikapi paham ini ialah kesadaran bahwasannya perbedaan dalam kehidupan khusunya perbedaan ajaran-agama ialah suatu karunia dari tuhan yang maha esa, sehingga hendaknya setiap penganut agama berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.
Maka sebagai bangsa yang menganut beragam macam kepercayaan, maka pembahasan dialogis mengenai titik temu antar umat beragama sekiranya perlu lebih diperhatikan, menginat akan dampak negatif yang timbul dari semakin besarnya pemahaman akan ekslusivisme beragama. Dengan demikian, maka kita sebagai kaum intelektual muda hendaknya menjadi pelopor dalam menyatukan umat yang hidup didalam perbedaan.

"BHINEKA TUNGGAL IKA"

Bersatu Kita Teguh, Bercera Kita Kawin Lagi....ups tetap senyum...


Muhammad Chandra, Peminum Kopi, Penjaga Perpustakaan Sukarela "Tangga Baca".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MASIHKAH KITA?
Sesore ini, Sedang hujan kian membasahi Di sela-sela bale bambu depan rumahku Kuselipkan sepilihan rindu Sambil terus bermunajat Pada semesta sore yang menjadi waktu paling romantis?
MENGUNGKAP YANG TERSEMBUNYI
Cinta, menurut Jalaluddin ar-Rumi, merupakan cahaya kehidupan dan nilai kemanusiaan. Sesungguhnya cinta itu kekal; jadi harus diberikan kepada yang kekal pula. Ia tidak pantas diberikan kepada yang ditakdirkan fana’
SEBELUM KUPERGI BERLADANG
Sama seperti kemarin, aku berdo’a sebelum beranjak menuju ladang kopiku yang juga merupakan warisan orang tuaku. Di sela do’aku, Amad; begitu aku memanggil anakku; datang menghampiriku dengan membawa setoples emping dan secangkir kopi khas racikan keluarga. “Bah, ini kubuatkan kopi untuk abah...spesial dari anak abah tercinta”, ujarnya sambil menaruh secangkir kopi hangat di hadapanku.