https://www.google.co.id |
Jika membahas
mengenai ekslusivisme, maka tidak bisa terlepas dari pembahasan mengenai
pluralisme yang merupakan pengembangan dari inklusivisme, sebagaimana dikemukakan oleh John Hick. bahwa, agama adalah jalan menuju keparipurnaan (the ultimate) yang sama. John Hick mengutip rumi rumi yang menyatakan "lampu-lampunya berbeda namn cahayanya sama; ia datang dari atas." Menurut Hick, "Sang Wujud" yang merupakan "tujuan akhir pandangan beragama", merupakan konsep uiversal (Husaini, 2005:335)
Pluralism merupakan kata yang diambil dari Bahasa inggris yang mempunyai tiga
pengertian, pertama pengertian kegerejaan, kedua pengertian filosofis, ketiga
pengertian sosio-politis, dan dari ketiga segi pengertian tersebut yang paling
mendekati kepada pembahasan kali ini yaitu pengertian sosio-politis yang
berarti pluralism adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman
kelompok baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan menjunjung
tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakterisitik diantara
kelompok-kelompok tersebut (Thoha, 2005:12).
Cara pandang
pluralisme berasumsi bahwa semua agama yang ada ialah benar sama-sama menuju
tuhan yang sama. Menurut penganut paham ini semua agama memiliki jalan yang
berbeda-beda dalam mempersepikan kerelatifan akan ketuhanan yang mutlak
keberadaannya. Karena kerelatifan inilah maka setiap penganut agama tidak boleh
mengklaim bahwa agamanyalah yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain
atau mengklaim bahwa agamanyalah yang hanya menunjukan kepada kesamatan, bukan
agama lain.
Sedangkan
ekslusivisme sendiri ialah suatu pandangan dalam beragama yang meyakini
keunggulan dari kebenaran ajaran-ajaran yang dianut, sekaligus menegasikan
ajaran serupa dari agama lain, sehingga ada kecenderungan untuk melahirkan
tindakan yang berbeda dan terpisah ketika berkoeksistensi dalam masyarakat
plural.
Memang
tidak bisa dilepas dari kenyataan dalam setiap kehidupan beragama, bahwa setiap
agama akan mengajarkan dan menyampaikan doktrin kepada setiap penganutnya akan
kebenaran agama tersebut dalam kata lain ialah bahwa cara pandang ekslusiv ini
sudah barang tentu menjadi hal yang mendasar dalam setiap agama dalam
mempertahankan eksistensiya dari agama lain.
Dan
harus diakui bahwa
eksklusifisme dibutuhkan ketika berbincang tentang teologi, karena memang
wilayah paham eksklusifisme berada pada kesadaran yang tentunya mempengaruhi
cara pandang masyarakat terhadap realitas, agar bisa mempertegas fungsi
teologis suatu agama dalam masyarakat. Oleh karena itu, wajar bila paham
seperti ini terkesan lebih kaku dan tidak fleksibel. Sedangkan paham inklusif
lebih berada pada wilayah sosial atau integrasi umat beragama, sehingga
nantinya diharapkan lahir tindakan yang lebih konstruktif.
Implikasinya dalam Beberapa Agama
Berbicara
mengenai implikasi ekslusivisme dalam beragama, maka hendaknya kita ketahui
mengenai arti dari implikasi itu sendiri. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia
implikasi berarti keterlibatan atau keadaan terlibat, yang berarti juga praktek
dalam kehidupannya dimasyarakat.
Kristen
protestan contohnya, dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya
menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada
pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan. Islam dengan statemen dalam al-Qur’an
surat Ali Imran : 85, yang artinya “hanya dengan meniscayakan kepasrahan dan
ketundukan total (ber-Islam) kepada Allah SWT sajalah seseorang bisa
mendapatkan keselamatan.”. Paham seperti ini dinamakan juga dengan ekslusivisme
agama dimana setiap penganut agama menyatakan atau mengklaim bahwa agama
yang dianutnya sajalah yang menunjukan pada jalan keselamatan dan tidak ada
keselamatan diluar agama itu. Paham- paham seperti pluralism, liberalism,
ekslusivisme serta inklusivisme ini muncul akibat semakin berkembangnya
kemampuan akal manusia dalam berfikir dan menentukan hal- hal yang menurut
mereka benar dan data membawa mereka pada kahidupan yang mereka inginkan.
Klim-klaim
kebenaran atas teks suci suatu agama, pada gilirannya membawa kepada dislokasi
nilai agama kepada semangat otoritarianisme keagamaan dengan menindas atau
memaksakan kehendak kepada kelompok agama lain. Misi agama yang katanya ingin
menyelamatkan umat manusia dari kenistaan, justru dengan model klaim kebenaran
semacam itu membawa umat manusia pada sikap saling menghancurkan sesama manusia
untuk berperang atas nama agama atau bahkan atas nama tuhan(keselamatan) itu
sendiri. Dalam skala yang lebih luas, sikap otoritarianisme keagamaan yang
demikian itu, nampak dalam sikap anti dialogis baik kepada umat agama lain
maupun terhadap kalangan sendiri dari kelompok(madzhab) yang berbeda.
Adalah
wajar bila “ekslusivisme” agama-agama dimaknai sebatas suatu ciri identitas
kelompok sepanjang tidak saling menegasikan kebenaran identitas kelompok
lainnya yang masih ada dan tumbuh bersama-sama “ekslusivisme” agama merupakan
sebuah keniscayaan untuk pencarian realitas tertinggi sehingga ia hanyalah
sebuah khazanah antar-iman. Persoalannya, ekslusivisme agama menjadi terasa
buruk ketika masing-masing kelompok agama yang berbeda saling berebut
kebenaran (Bincar, Tantangan Penyuluh Agama dalam Menghadapi Ekslusivisme Agama)
Bagaimana Menyikapinya?
Paha
ekslusiv dalam beragama memang menjadi suatu hal yang penting untuk
diperhatikan lebih, mengingat akan besarnya dampak negatif yang timbul dari
paham ini. Paham ini memang tidak bisa dinafikan keberadaannya dalam beragama
khususnya dalam lingkup kepercayaan akan ketuhanan yang esa, namun terdapat
beberapa cara untuk menyikapi paham ekslusiv ini diantaranya:
a. Transparansi
antar agama dalam hal-hal yang menjadi pokok dalam setiap agama sehingga setiap
penganut agama mengetahui dan memahami situasi dan kondisi agama lain.
b. Kesadaran
bahwasannya perbedaan atau keanekaragaman ajaran agama ialah karunia dari tuhan
yang maha esa, dengan demikian hendaknya semua umat saling berlomba-lomba dalam
kebajikan dan untuk mencapai kemuliaan.
c. Memberikan
kepada setiap penganut agama apapun keluasan dalam menjalankan agama mereka
selama saling menghormati dan tidak bercampur tangan atau bahkan menimbulkan
kerusakan bagi agama lain.
Dan
cara terpenting untuk menyikapi paham ini ialah kesadaran bahwasannya perbedaan
dalam kehidupan khusunya perbedaan ajaran-agama ialah suatu karunia dari tuhan
yang maha esa, sehingga hendaknya setiap penganut agama berlomba-lomba dalam
berbuat kebajikan.
Maka sebagai
bangsa yang menganut beragam macam kepercayaan, maka pembahasan dialogis
mengenai titik temu antar umat beragama sekiranya perlu lebih diperhatikan,
menginat akan dampak negatif yang timbul dari semakin besarnya pemahaman akan
ekslusivisme beragama. Dengan demikian, maka kita sebagai kaum intelektual muda
hendaknya menjadi pelopor dalam menyatukan umat yang hidup didalam perbedaan.
"BHINEKA TUNGGAL IKA"
Bersatu Kita Teguh, Bercera Kita Kawin Lagi....ups tetap senyum...
Muhammad Chandra, Peminum Kopi, Penjaga Perpustakaan Sukarela "Tangga Baca".