Minggu, 11 Februari 2018

Diskursus Fiqh Bi'ah (Fiqh Lingkungan) Dalam Merespon Isu Lingkungan


http://www.bioazul.com
Sejarah peradaban dunia yang berkembang baik di timur maupun barat seakan memberikan suatu pengertian tersendiri kepada kita bahwa manusia selalu mengadakan usaha-usaha dalam hal meningkatkan taraf kehidupan mereka, pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan semakin pesatnya laju pertumbuhan dunia teknologi dan pengetahuan yang semakin hari seakan semakin membabi buta, berkembang dan maju. Istilah yang tidak lagi asing terdengar di telinga kita saat ialah “globalisasi”, yang mana hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari majunya dunia IPTEK.  Sayangnya, kemajuan peradaban manusia seperti sekarang ini khususnya dalam bidang keilmuan-teknologi belum sepenuhnya mendapat respon yang progresif sehingga banyak dari kita yang bukannya menjadi pengendali dari majunya peradaban tersebut justru menjadi korban serangan dan laju pesatnya kemajuan dunia IPTEK itu sendiri.
Kelompok yang paling berperan aktif dan bertanggung jawab dalam hal ini ialah para sarjana dan kaum intelektual. Dimana perkembangan ilmu pengetahuan berada di tangan mereka, sehingga dapat dikatakan bahwa arah peradaban manusia serta laju globalisasinya merupakan rancangan para kaum intelektual. Dalam hal ini, agama(Islam) harus dapat merespon kembali arah globalisasi yang kian hari kian pesat dan nampak simpang siur ini. Peran agama diperlukan untuk mengontrol laju globalisasi tersebut agar lalu lintas globalisasi tetap berada di jalur yang semestinya dan tidak menyebabkan benturan dengan aspek-aspek lainnya, seperti aspek budaya.
Catatan sejarah membuktikan bahwa umat muslim pernah menginjak fase kejayaan peradaban dengan banyaknya metodologi dan teknologi yang dilahirkan serta dikembangkan oleh para intelektual muslim. Sehingga tidak menutup kemungkinan bagi intelektual muslim saat ini untuk dapat memasuki fase tersebut kembali. Bukankan kita diperingatkan oleh bapak bangsa agar tidak sekali-kali melupakan sejarah? Belajar dari sejarah adalah belajar dari pengalaman, pengalaman itu bisa berupa pengalaman seorang pribadi atau juga pengalaman suatu kelompok. Sebagaimana pesan baginda Muhammad SAW, belajarlah dari orang-orang terdahulu, ambil positifnya dan tinggalkan hal-hal yang tidak baik buatmu.  
Intelektual muslim perlu menyikapi fenomena ini dengan kritis, sebagaimana dipaparkan oleh Yusdani dalam tulisannya “Pengembangan Ilmu Masa Depan”, terdapat beberapa langkah untuk mentransformasikan ilmu-ilmu serta pemikiran klasik menjadi ilmu yang bersifat kemanusiaan, diantaranya yaitu, upaya dekonstruksi, rekonstruksi, dan upaya pengintegrasian. Ketiga langkah tersebut kiranya dapat menjadi kunci dalam melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan dan pemikiran baru yang sesuai dengan kebutuhan umat manusia, mengingat laju kehidupan manusia yang dinamis dan selalu mengalami perubahan, maka ilmu pengetahuan pun seyogyanya perlu mengimbanginya, tak terkecuali ilmu-ilmu serta pemikiran dalam Islam.
Perguruan Tinggi Islam kiranya saat ini memiliki andil penuh dalam mencetak kader-kader intelektual muslim yang mampu merespon laju globalisasi yang sejalan dengan pedoman Al-Quran dan menjadikan manusia sebagai tuan dari sebuah peradaban bukan justru menjadi budak dan korban kekerasan peradaban tersebut.
Ajaran-ajaran profetik yang telah diwariskan sejak awal kemunculan Islam perlu untuk direvitalisasi kembali dan dikembangkan sesuai kebutuhan umat manusia saat ini, khususnya kebutuhan umat muslim sendiri. kebutuhan manusia yang semakin kompleks, serangan barat terhadap Islam-baik dalam doktrin maupun dunia intelektual adalah alasan kuat bagi umat Islam untuk mengadakan dan menyemarakan gerakan tajdid, bukan hanya dalam konsepsi syariat tapi juga pemikiran umat Islam itu sendiri. Sehinggan bentuk pengembangan dan pengajaran dalam dunia intelektual Islam tidak hanya menggeser dari paradigma teosentris-eskatologis menuju antroposenstrin-transformatif, tapi juga sejalan dan beriringan antara keduanya. Diaman proyeksinya kedapan yaitu mewujudkan kader-kader intelektual Muslim yang mampu “merawat tradisi, merespon modernisasi”(al muhafadzatu ‘ala qadimi as shalih wal akhdzu bil jadiidi al ashlah).
Diskursus terkait pengembangan "fiqh bi'ah (Fiqh Lingkungan)” seperti banyak digalakkan sekarang ini merupakan salah satu aksi nyata guna merespon persoalan primordial di era globalisasi ini. bahkan, penulis pribadi mengatakan bahwa persoalan lingkungan perlu dipahami oleh setiap kelompok sebagai wacana utama dalam mengambil tindak langkah di setiap urusan kehidupan manusia, mulai dari tahap pengajaran sampai kepada tahap penciptaan berbagai produk modern agar terwujudnya pembangunan dunia secara menyeluruh yang berasaskan "pembangunan berkelanjutan ramah lingkungan". Karena bagaimanapun tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dunia tempat kita tinggal ini, seperti banyak dikatakan oleh beberapa kelompok pemerhati lingkungan, sudah berada ditahap krisis. Dalam artian, bahwa planet bumi ini sudah mengkhawatirkan kondisinya, dan mengancam punahnya banyak spesies makhluk hidup didalamnya, bukan hanya kelompok flaura dan fauna saja yang terancam punahnya, bahkan manusia sendiri pun jika tidak segera ditangani akan memasuki fase kehidupan krisis lingkungan yang pada akhirnya dapat mendatangkan banyak kerugian bagi manusia itu sendiri.

Guna merespon persoalan lingkungan, nantinya bukan hanya "fiqh bi'ah" saja yang memegang kendali terhadap proses pergerakan-pembangunan yang ramah lingkungan, tapi juga diperlukan instrumen-instrumen lain yang mendukung jalannya penerapan "fiqh bi'ah", contohnya, dicanangkannya sistem-sistem informasi "hijau" yang mampu memberikan kendali dalam aksi pengadaan "peradaban hijau". Yaitu peradaban ramah lingkungan, suatu model kehidupan umat manusia yang berbasis lingkungan, dimana seluruh aspek perkembangan ilmu pengetahuan nantinya akan memperhatikan nilai-nilai ekologi. Semodern apapun kehidupan kita, jika kita tidak peduli terhadap lingkungan, percayalah satu hal; kita akan terusir dari rumah kita sendiri disebabkan semakin sulitnnya mencari penghidupan di dunia yang kian hari kian tercemar oleh ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.

Muhammad Chandra, Peminum Kopi, Penjaga Perpustakaan Sukarela "Tangga Baca"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MASIHKAH KITA?
Sesore ini, Sedang hujan kian membasahi Di sela-sela bale bambu depan rumahku Kuselipkan sepilihan rindu Sambil terus bermunajat Pada semesta sore yang menjadi waktu paling romantis?
MENGUNGKAP YANG TERSEMBUNYI
Cinta, menurut Jalaluddin ar-Rumi, merupakan cahaya kehidupan dan nilai kemanusiaan. Sesungguhnya cinta itu kekal; jadi harus diberikan kepada yang kekal pula. Ia tidak pantas diberikan kepada yang ditakdirkan fana’
SEBELUM KUPERGI BERLADANG
Sama seperti kemarin, aku berdo’a sebelum beranjak menuju ladang kopiku yang juga merupakan warisan orang tuaku. Di sela do’aku, Amad; begitu aku memanggil anakku; datang menghampiriku dengan membawa setoples emping dan secangkir kopi khas racikan keluarga. “Bah, ini kubuatkan kopi untuk abah...spesial dari anak abah tercinta”, ujarnya sambil menaruh secangkir kopi hangat di hadapanku.