Selasa, 17 Juli 2018

PEMIMPIN(PRESIDEN) PEREMPUAN DALAM FIQH POLITIK ISLAM


MAKALAH
PEMIMPIN(PRESIDEN) PEREMPUAN DALAM FIQH POLITIK ISLAM
Disusun sebagai Salah Satu Tugas Individu pada Mata Kuliah Siyasah

Nama Mahasiswa :
Muhammad Chandra 15421034

Dosen Pengampu :
Dr. Yusdani, M.Ag

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kepemimpinan merupakan fitrah dari setiap diri manusia yang sudah ada sejak ia pertama kali dilahirkan dan melekat dalam hidupnya, fitrah kepemimpinan tersebut dimiliki oleh setiap orang tanpa terkecuali baik itu muslim maupun tidak sehingga menjadi seorang pemimpin adalah hal mutlak yang akan dialami dan dijalani dalam kehidupan setiap manusia mulai dari memimpin sebuah organisasi besar seperti negara maupun kota hingga memimpin kehidupan berumah tangganya, bahkan menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Walaupun demikian, tidaklah semua orang dapat menjalankan fitrahnya ters amanat ebut dengan baik karena untuk menjadi seorang pemimpin yang baik bahkan bagi dirinya sendiri diperlukan metode-metode dan managemen khusus demi terciptanya karateriktis kepemimpinan yang ideal dan sesuai dengan kemampuan dari diri setiap individu.
Manusia memiliki tugas dan tanggung jawab besar dalam kehidupan di dunia ini. Seorang manusia, selain memiliki citra diri sebagai hamba Allah (abdullah), juga memiliki jabatan ilahian sebagai khalifatullah, sang pengganti Allah dalam mengurusi seluruh alam. Tugas dan tanggung jawab itu merupakan tugas dan amanat ketuhanan yang sungguh besar dan berat. Oleh karena itu, semua yang ada di langit dan bumi menolak amanat yang sebelumnya telah Allah SWT tawarkan kepada mereka, karena esensi amanat itu sangat besar dan luas, serta sungguh berat untuk dilaksanakan. Akan tetapi, seorang manusia berani menerima amanat itu, padahal ia memiliki potensi untuk mengingkari amanat itu.[1]
John Naisbit dan Patricia Aburdene telah mengemukakan dalam bukunya Megatrend 2000 bahwa abad 21 adalah merupakan abad kepemimpinan perempuan. Sekarang ini sudah kita saksikan banyak perempuan yang menjadi pemimpin di sektor publik. Bahkan, di ancah politik yang dikenal penuh persaingan dengan kekerasan, ada pula perempuan yang dengan karismanya dapat mencapai keunggulan dan memimpin bangsanya, misalnya : Margareth Tercher, Khaleda Zia, T. Chiller, Madeleine Albright, Gloria Macapaghal, Aroyyo, Megawati Soekarno Putri, dan lain-lainnya. Di Indonesia sendiri hingga kini telah ada pemimpin-pemimpin daerah dari tingkat kecamatan hingga tingkat provinsi dari kaum perempuan.[2]
Ketika Islam pertama kali datang ke jazirah Arab, kaum perempuan berada dalam posisi yang sangat rendah dan memprihatinkan, hak-hak mereka diabaikan dan suara mereka pun tak pernah didengar. Islam kemudian datang merombak kondisi tersebut, kedudukan mereka diangkat dan diakui, ketidakadilan yang mereka rasakan dihilangkan, hak-hak mereka diapresiasi, dibela, dan dijamin pemenuhannya. Sejak itu, kaum perempuan menemu kembali jati diri kemanusiaan mereka yang dihilangkan. Mereka sadar bahwa mereka adalah manusia sebagaimana halnya kaum lelaki. Ide kesetaraan ini teramini dalam konsep dasar Al-quran yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan yang terakomodir dari banyaknya ayat yang menunjukkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.[3]
Sosok perempuan yang identik dengan kesan lemah-lembut serta minim ketegasan jika dibanding kaum laki-laki, mendatangkan banyak stigma yang secara tidak langsung mendiskreditkan sosok perempuan yang berperan sebagai pemimpin. Bahkan, Fatimah Mersini yang merupakan salah seorang aktivis feminis muslim asal Al-Jazair secara radikal menyatakan penolakannya terhadap pemahaman ulama yang telah membuat fiqh yang dinilai telah mendiskriminasikan kaum perempuan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana makna kepemimpinan dalam Islam?
2.      Bagaimana peran perempuan dalam Islam?
3.      Bagaimana pandangan Islam tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kepemimpinan dalam Islam
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menggerakkan orang lain dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama. Maka kepemimpinan lahir dari proses internal ( leadership from the inside out), artinya berhasil tidaknya seorang pemimpin tidak terlepasdari kepribadian maupun ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan didorong oleh keinginan untuk melakukan suatu perubahan dan perbaikan dalam masyarakatnya.[4]
Kepemimpinan dan Pemimpin dan dalam suatu organisasi atau lembaga, dalam tulisan “pemimpin dan kepemimpinan “, oleh Kartini Kartono, diterbitkan PT Raja Grapindo persada, jakarta 2008 mendefenisikan pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan kelebihan disatu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Maka pemimpin dapat dikatakan sebagai seorang yang memiliki satu atau beberapa kelebihan sebagai predisposisi( bakat yang dibawa sejak lahir), dan merupakan kebutuhan dari satu situasi atau zaman, sehingga dia mempunyai kekuasaan dan kewibawaan untuk mengarahkan dan membimbung bawahan. Dia juga mendapatkan pengakuan serta dukungan dari bawahannya dan mampu menggerakan bawahan kearah tujuan tertentu.[5]
Kepemimpinan Islam adalah suatu proses hubungan antar pribadi, perilaku seseorang yang berdasarkan pada ajaran Al-Qur’an dan hadits untuk mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama.[6]
Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia telah menggariskan prinsip-prinsip yang menjadi landasan utama bagi seseorang dalam menjalankan kepemimpinan ditengah komunitasnya, prinsip-prinsip tersebut menjadi seuatu keharusan bagi setiap pemimpin dan merupakan hal paling utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam mewujudkankepemimpinan yang sejalan dengan tuntunan Islam. Diantara perinsip-priinsip tersebut, yaitu:
1.      Tidak menjadikan orang kafir sebagai pemimpin
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat An-Nisa: 144, yang artinya “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang yang beriman. Apakah kalian hendak mengadakan alasan yang nyata bagi Allah(untuk menyiksamu)”
2.      Menjadi Uswatun Hasanah
Seorang pemimpin harus mampu menjadi teladan bagi orang yang dipimpinnya serta mampu mencohtohkan perilaku baik didepan mereka, sebab orang yang dipimpin berada dibawah kuasa pemimpin. Maka hendaknya seorang pemimpin mampu dan bahkan harus bisa menjadi panutan tauladan bagi orang yang dipimpinnya.
3.      Menerapkan Musyawarah
Penyelesaian suatu permasalahan yang dihadapi dalam sebuah kepemimpinan haruslah dilakukan dengan cara bermusyawarah. “dan (bagi) orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka” (QS Al-Syura:38)
4.      Berlaku Adil
“sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS An-Nisa:58)
Imam Al-Mawardi melihat betapa pentingnya prinsip “adil” ini bagi seorang pemimpin, sehingga beliau meletakkan sifat ini sebagai syarat yang paling utama dan pertama bagi seseorang yang layak untuk dipilih atau dijadikan sebagai pemimpin (Al-Mawardi:1960:6).

B.     Peran Perempuan dalam Islam
Wanita adalah wani nata (berani menata dirinya) dan wanit ditata (berani ditata oleh suaminya). Wanita disebut juga dengan perempuan, berasal dari per-empu(dihormati)-an. Selain itu wanita adalah ibu jika dikaitkan dengan anak dalam keluarga. Rasulullah SAW bersabda “surga di bawah telapak kaki ibu”. Ini menunjukkan bahwa kaum wanita begitu terhormat dan dihormati.[7]
Peran serta kedudukan seorang wanita meliputi berbagai hal, yaitu:
1.      Sebagai seorang ibu, dalam kehidupan berkeluarga, peran serta keberadaaan seorang wanita sebagai ibu bagi anak mereka adalah sebuah kenicayaan(dengan pengecualian). Keutamaan seorang ibu pun begitu besar seperti disebut dalam sabda Rasulullah diatas “surga di bawah telapak kaki ibu”.
2.      Sebagai isteri, disinilah Islam menempatkan keseimbangan di dalam kehidupan khususnya kehidupan berumah tangga seseorang dimana keberadaan seorang wanita/isteri menjadi penyeimbang bagi suaminya dalam mewujudkan keharmonisan berumah tangga.
3.      Sebagai pendidik, wanita merupakan guru dengan rumah tangganya sebagai sekolah yang menciptakan cerdik-cendikiawan, calon-calon pemimpin, sebab wanitalah yang banyak berada di rumah, mengasuh dan mendidik anak-anak ke jalan yang baik dan benar serta melayani kebutuhan suami dan anak-anak (Al-Asy’ari, 1986:28).
4.      Sebagai pemimpin baik agi dirinya sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat, bahkan pemimpin suatu bangsa dan negara.

Islam menegaskan bahwa pria dan wanita mempunyai peranan yang sama di hadapan Allah SWT. Pria dan wanita mempunyai hal dan kewajiban yang sama terhadap Allah, sesama manusia dan masyarakat. Keduanya memperoleh hak dan kedudukan sesuai dengan amal perbuatan mereka masing-masing.[8]

C.    Pandangan Islam(Fiqh Politik Islam) terhadap Kepemimpinan (Presiden) Perempuan
Dalam konteks bernegara peran perempuan sangatlah dibutuhkan. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits “an-nisa’u miladul bilad” artinya perempuan adalah tiang negara. Maksudnya, bahwa sesungguhnya wanita ialah titik tolak dari keberlangsungan suatu negara sebab merekalah yang menjadi sekolah sekaligus guru paling pertama bagi setiap anak yang mereka lahirkan. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa maju atau mundurnya eksistensi suatu negara tidak terlepas kaitannya dari peran seorang perempuan(ibu) yang secara berkala mencetak penerus-penerus bangsa. Apabila telah hilang dari mereka akhlak dan suri tauladan, maka rusaklah pula apa yang terlahir dari diri mereka.
Melihat realitas dewasa ini, benyak pandangan yang baik secara langsung maupun tidak langsung, memandang kepemimpinan perempuan dengan sebelah mata serta meragukan akan kualitas kepemimpinan perempuan. Di Indonesia, sebagaimana kita ketahui sejauh ini kepemimpinan seorang perempuan walaupun tidak sepenuhnya ditolak, akan tetapi tidak sedikit yang belum menerima keberadaan perempuan sebagai pemimpin, kecuali dalam keadaan terpaksa yang mengharuskan seorang perempuan naik panggung dan mengambil alih peranan sebagai seorang pemimpin.
Hal ini bertolak belakang dengan pandangan Islam yang memuliakan harkat dan martabat wanita. Karena itu pemikiran Islam progresif yang memuliakan kaum perempuan perlu terus disegarkan dalam kancah pemikiran umat Islam dan ini harus dibarengi dengan usaha kaum perempuan untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan mereka baik dibidang pengetahuan, teknologi, serta bidang-bidang lainnya.[9]
Majelis Tarjih (Muhammadiyah) berpendapat tidak ada dalil yang merupakan nash untuk melarang perempuan menjadi pemimpin, baik menjadi hakim, camat, direktur sekolah, lurah, dan lain sebagainya (Adabul Mar’ah fil Islam, hal :76). Laki-laki (mukmin) dan perempuan (mukminat) mempunyai kewajiban yang sama untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (Q.S. at-Taubah (9): 71) dan melakukan amal salih (Q.S. an-Nisa’ (4): 124). Bahkan, dalam sejarah Islam Ummu Sulaim dan beberapa wanita Ansar ikut berperang bersama Rasulullah saw untuk mengobati dan membagikan air minum kepada tentara (Adabul Mar’ah fil Islam, hal: 69). Kenyataan sejarah juga menunjukkan bahwa wanita ikut terlibat pada ranah publik, misalnya istri Nabi Muhammad saw, ‘Aisyah yang memimpin langsung perang Jamal, dan Syifa’ binti Abdullah al-Makhzumiyah diangkat menjadi hakim pengadilan Hisbah di Pasar Madinah pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab.
Mengenai hal ini Syaikh Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwa setiap perempuan berhak untuk duduk dalam sebuah kepemimpinan di wilayah publik. Hal ini didasarkan pada pemaknaan surat at-Taubah ayat 71, bahwa Allah menetapkan bagi perempuan beriman hak mutlak memerintah sebagaimana laki-laki, termasuk di dalamnya memerintah dalam urusan politik atau untuk kepentingan publik. Sedangkan hadis yang berbunyi لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْ أَمْرَهُمْ إِمْرَأَةٌ menjelaskan tentang pemimpin atas seluruh penduduk sebuah negeri, atau jabatan kepala negara sebagaimana dapat dipahami dari kata-kata “amrahum”  (urusan mereka), maksudnya adalah urusan kepemimpinannya mencakup semua urusan penduduk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perempuan boleh menerima jabatan sebagai pemimpin atau memegang kendali kekuasaan menurut spesialisasi masing-masing, seperti jabatan memberi fatwa dan berijtihad, pendidikan, administrasi dan sejenisnya. (al-Qaradhawi, hal. 529-530). Hal yang senada juga diungkapkan oleh Buya Hamka, beliau memaknai surat at-Taubah ayat 71 bahwa orang mukmin laki-laki maupun perempuan, mereka bersatu dan saling memimpin satu sama lain dalam satu kesatuan i’tiqad, yaitu percaya kepada Allah swt. Dengan kata lain, perempuan ambil bagian dalam menegakkan agama, dan membangun masyarakat beriman, baik laki-laki dan perempuan (Hamka, Tafsir al-Azhar hal. 292-293).[10]
Dr. Muhammad Sayid Thanthawi, Syaikh Al-Azhar dan Mufti Besar Mesir, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam posisi jabatan apapun tidak bertentangan dengan syariah. Baik sebagai kepala negara (al-wilayah al-udzma) maupun posisi jabatan di bawahnya. Dalam fatwanya yang dikutip majalah Ad-Din wal Hayat, Tantawi menegaskan: (Wanita yang menduduki posisi jabatan kepala negara tidaklah bertentangan dengan syariah karena Al-Quran memuji wanita yang menempati posisi ini dalam sejumlah ayat tentang Ratu Balqis dari Saba. Dan bahwasanya apabila hal itu bertentangan dengan syariah, maka niscaya Al-Quran akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini. Adapun tentang sabda Nabi bahwa “Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh wanita” Tantawi berkata: bahwa hadits ini khusus untuk peristiwa tertentu yakni kerajaan Farsi dan Nabi tidak menyebutnya secara umum. Oleh karena itu, maka wanita boleh menduduki jabatan sebagai kepala negara, hakim, menteri, duta besar, dan menjadi anggota lembaga legislatif. Hanya saja perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh Al-Azhar karena jabatan ini khusus bagi laki-laki saja karena ia berkewajiban menjadi imam shalat yang secara syariah tidak boleh bagi wanita).[11]
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.[12]
Jumhur ulama sepakat  akan haramnya wanita memegang kekuasan dalam al-wilayatul-kubra  atau  al-imamatul-uzhma (pemimpin tertinggi). Di mana wanita berperan  sebagai pemimpin tertinggi dalam urusan pemerintahan. Sebab  dalam  matan   hadits tersebut terdapat kata " Wall u A m r ak um " (Yang  Memerintah  Kamu Semua), yang ditafsirkan sebagai Khalifah dalam  sistem politik Islam. Sehingga  jumhur  ulama memberikan pengharaman pada wanita. Hampir ulama klasik memandang perlu untuk mengetengahkan bahwa hak menjadi khalifah adalah haq laki-laki, bukan wanita. Ini diungkapkan baik oleh Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun.[13]





PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sejak awal Islam dipromosikan sebagai agama pembebasan maka pembebasan  yang pertama adalah pembebasan kaum wanita dari kesewang- wenangan kaum pria baik karena kultural suatu bangsa atau budaya masyarakat setempat yang pasti bahwa dengan kedatangan Islam wanita terbebas dari segala belenggu penindasan dan ketidak adilan atas segala haknya, termasuk menjadi seorang pemimpin. Tidak bolehnya wanita  duduk dalam kepemimpinan politik adalah produk ulama bias gender. Karena dari pengertian kepemimpinan itu sendiri sampai pada pengangkatan derajat wanita yang dilakukan Rasulullah bahkan dalam Alquran tidak satupun ayat yang menyatakan pelarangan bagi wanita untuk menjadi pemimpin. Saat wanita memiliki kemampuan dan loyalitas serta kecerdasan yang tinggi maka tidak ada salahnya wanita maju dipanggung politik untuk memberikan sumbangsi yang berharga untuk kepentingan agama, bagsa dan negara atas ridha Allah swt.
Peran serta kedudukan seorang wanita meliputi berbagai hal, yaitu: 1) Sebagai seorang ibu. 2) Sebagai isteri. 3) Sebagai pendidik. 4) Sebagai pemimpin baik agi dirinya sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat, bahkan pemimpin suatu bangsa dan negara.
Perbedaan pendapat diantara kalangan ulama baik ulama salaf maupun kontemporer ada umumnya terletak pada pemahaman mereka terhadap dalil-dalil syara’ yang berbicara soal kepemimpinan perempuan serta persamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki dalam hal amar ma’ruf nahi munkar. Jika dilihat dengan seksama, mayoritas ulama yang mengharamkan kepemimpinan seorang perempuan terutama dalam hal kepemimpinan yang mencakup wilayah kubro, yaitu para ulama salaf, termasuk imam madzhab arba’. Sedangkan mayoritas ulama kontemporer/khalaf membolehkan kepemimpina perempuan dengan syarat dan ketentuannya masing-masing.
Hemat penulis, dalam menyikapi kepemimpinan perempuan maka perlu kiranya untuk melihat terlebih dahulu unsur mashlahat dan mudharat-nya. Baik mashlahat-mudharat bagi perempuan itu sendiri ataupun ashlahat-mudharat yang mencakup dari apa yang dipimpin oleh seorang perempuan jika dia telah menduduki posisi (pemimpin) tersebut. Mengingat perumpuan memiliki segudang tanggung jawab besar yang harus dipikulnya, bahkan sudah sejak dalam tanggung jawab rumah tangganya sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Ismanto, Jumari. 1982. Peranan Wanita dalam Pembangunan Bangsa dalam Islam.Surabaya: PT Bina Ilmu.
Al-Banjari, Rachmat Ramadhan. 2008. Prophetic Leadership. Jogjakarta: DIVA Press.
Surwandono. 2001. Pemikiran Politik Islam. Yogyakarta: LPPI UMY.
Mufti, Muhammad Ahmad dan Al-Wakil, Sami salih. 2005. HAM Menurut Barat, HAM Menurut Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Supriyanto Pasir.2013. Menjadi Pemimpin Muslim Sejati. Yogyakarta: DPPAI UII.
Norma Dg. Siame.2012. Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Syariat Islam. Jurnal Musawa. Volume 4 Nomor 1 Juni 2012.
Widyastini. 2012. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Wanita dalam Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia. Jurnal Filsafat Volume 22 Nomor 3 Desember 2012.
Fathurrahman. 2016. Kepemimpinan Perempuan dalam Islam; Legitimasi Sejarah Atas Kepemimpinan Politik Perempuan. Jurnal Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Bima, Volume 4 Nomor 1 Januari-Juni 2016.



[1] Rachmat Ramadhana al-Banjari, Propethic Leadership, (Yogyakarta: DIVA Press, 2008), hal. 21.
[2] Ibid,. Hal. 78
[3] Fathurrahman, ‘Kepemimpinan Perempuan dalam Islam; Legitimasi Sejarah Atas Kepemimpinan Politik Perempuan’, Jurnal Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Bima, Volume 4 Nomor 1 Januari-Juni 2016, hal. 137.
[4] Norma Dg. Siame, Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Syariat Islam, Jurnal Musawa, Volume 4 Nomor 1 Juni 2012, hal. 71.
[6] Supriyanto Pasir, Menjadi Pemimpin Muslim Sejati, (Yogyakarta: DPPAI UII, 2013), hal. 27.
[7] Widyastini, Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Wanita dalam Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia, Jurnal Filsafat Volume 22 Nomor 3 Desember 2012, hal. 239.
[8] Ibid,.
[9] Widyastini, Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Wanita dalam Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia, Jurnal Filsafat Volume 22 Nomor 3 Desember 2012, hal. 243.
[13] Norma Dg. Siame, Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Syariat Islam, Jurnal Musawa, Volume 4 Nomor 1 Juni 2012, hal. 79-80.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MASIHKAH KITA?
Sesore ini, Sedang hujan kian membasahi Di sela-sela bale bambu depan rumahku Kuselipkan sepilihan rindu Sambil terus bermunajat Pada semesta sore yang menjadi waktu paling romantis?
MENGUNGKAP YANG TERSEMBUNYI
Cinta, menurut Jalaluddin ar-Rumi, merupakan cahaya kehidupan dan nilai kemanusiaan. Sesungguhnya cinta itu kekal; jadi harus diberikan kepada yang kekal pula. Ia tidak pantas diberikan kepada yang ditakdirkan fana’
SEBELUM KUPERGI BERLADANG
Sama seperti kemarin, aku berdo’a sebelum beranjak menuju ladang kopiku yang juga merupakan warisan orang tuaku. Di sela do’aku, Amad; begitu aku memanggil anakku; datang menghampiriku dengan membawa setoples emping dan secangkir kopi khas racikan keluarga. “Bah, ini kubuatkan kopi untuk abah...spesial dari anak abah tercinta”, ujarnya sambil menaruh secangkir kopi hangat di hadapanku.