MAKALAH
“PEMIMPIN(PRESIDEN)
PEREMPUAN DALAM FIQH POLITIK ISLAM”
Disusun sebagai Salah Satu Tugas Individu pada Mata Kuliah Siyasah
Nama Mahasiswa :
Muhammad Chandra 15421034
Dosen Pengampu :
Dr. Yusdani, M.Ag
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kepemimpinan merupakan fitrah dari setiap diri manusia yang sudah ada
sejak ia pertama kali dilahirkan dan melekat dalam hidupnya, fitrah
kepemimpinan tersebut dimiliki oleh setiap orang tanpa terkecuali baik itu
muslim maupun tidak sehingga menjadi seorang pemimpin adalah hal mutlak yang
akan dialami dan dijalani dalam kehidupan setiap manusia mulai dari memimpin
sebuah organisasi besar seperti negara maupun kota hingga memimpin kehidupan
berumah tangganya, bahkan menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Walaupun
demikian, tidaklah semua orang dapat menjalankan fitrahnya ters amanat ebut
dengan baik karena untuk menjadi seorang pemimpin yang baik bahkan bagi dirinya
sendiri diperlukan metode-metode dan managemen khusus demi terciptanya
karateriktis kepemimpinan yang ideal dan sesuai dengan kemampuan dari diri
setiap individu.
Manusia memiliki tugas dan tanggung jawab besar dalam kehidupan di dunia
ini. Seorang manusia, selain memiliki citra diri sebagai hamba Allah (abdullah),
juga memiliki jabatan ilahian sebagai khalifatullah, sang pengganti
Allah dalam mengurusi seluruh alam. Tugas dan tanggung jawab itu merupakan
tugas dan amanat ketuhanan yang sungguh besar dan berat. Oleh karena itu, semua
yang ada di langit dan bumi menolak amanat yang sebelumnya telah Allah SWT
tawarkan kepada mereka, karena esensi amanat itu sangat besar dan luas, serta
sungguh berat untuk dilaksanakan. Akan tetapi, seorang manusia berani menerima
amanat itu, padahal ia memiliki potensi untuk mengingkari amanat itu.[1]
John Naisbit dan Patricia Aburdene telah mengemukakan dalam bukunya Megatrend
2000 bahwa abad 21 adalah merupakan abad kepemimpinan perempuan. Sekarang
ini sudah kita saksikan banyak perempuan yang menjadi pemimpin di sektor
publik. Bahkan, di ancah politik yang dikenal penuh persaingan dengan
kekerasan, ada pula perempuan yang dengan karismanya dapat mencapai keunggulan
dan memimpin bangsanya, misalnya : Margareth Tercher, Khaleda Zia, T. Chiller,
Madeleine Albright, Gloria Macapaghal, Aroyyo, Megawati Soekarno Putri, dan
lain-lainnya. Di Indonesia sendiri hingga kini telah ada pemimpin-pemimpin daerah
dari tingkat kecamatan hingga tingkat provinsi dari kaum perempuan.[2]
Ketika Islam pertama kali datang ke jazirah Arab, kaum perempuan berada
dalam posisi yang sangat rendah dan memprihatinkan, hak-hak mereka diabaikan
dan suara mereka pun tak pernah didengar. Islam kemudian datang merombak
kondisi tersebut, kedudukan mereka diangkat dan diakui, ketidakadilan yang mereka
rasakan dihilangkan, hak-hak mereka diapresiasi, dibela, dan dijamin
pemenuhannya. Sejak itu, kaum perempuan menemu kembali jati diri kemanusiaan
mereka yang dihilangkan. Mereka sadar bahwa mereka adalah manusia sebagaimana
halnya kaum lelaki. Ide kesetaraan ini teramini dalam konsep dasar Al-quran
yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan yang terakomodir
dari banyaknya ayat yang menunjukkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.[3]
Sosok perempuan yang identik dengan kesan lemah-lembut serta minim
ketegasan jika dibanding kaum laki-laki, mendatangkan banyak stigma yang secara
tidak langsung mendiskreditkan sosok perempuan yang berperan sebagai pemimpin.
Bahkan, Fatimah Mersini yang merupakan salah seorang aktivis feminis muslim
asal Al-Jazair secara radikal menyatakan penolakannya terhadap pemahaman ulama
yang telah membuat fiqh yang dinilai telah mendiskriminasikan kaum perempuan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana makna kepemimpinan dalam Islam?
2.
Bagaimana peran perempuan dalam Islam?
3.
Bagaimana pandangan Islam tentang kepemimpinan
perempuan dalam Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kepemimpinan dalam Islam
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menggerakkan orang
lain dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing untuk mencapai tujuan dan
cita-cita bersama. Maka kepemimpinan lahir dari proses internal ( leadership
from the inside out), artinya berhasil tidaknya seorang pemimpin tidak
terlepasdari kepribadian maupun ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan didorong
oleh keinginan untuk melakukan suatu perubahan dan perbaikan dalam
masyarakatnya.[4]
Kepemimpinan dan
Pemimpin dan dalam suatu organisasi atau lembaga, dalam tulisan “pemimpin dan
kepemimpinan “, oleh Kartini Kartono, diterbitkan
PT Raja Grapindo persada, jakarta 2008 mendefenisikan pemimpin adalah seorang
pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan kelebihan
disatu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk
bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau
beberapa tujuan. Maka pemimpin dapat dikatakan sebagai seorang yang memiliki
satu atau beberapa kelebihan sebagai predisposisi( bakat yang dibawa sejak
lahir), dan merupakan kebutuhan dari satu situasi atau zaman, sehingga dia
mempunyai kekuasaan dan kewibawaan untuk mengarahkan dan membimbung bawahan.
Dia juga mendapatkan pengakuan serta dukungan dari bawahannya dan mampu
menggerakan bawahan kearah tujuan tertentu.[5]
Kepemimpinan Islam adalah
suatu proses hubungan antar pribadi, perilaku seseorang yang berdasarkan pada
ajaran Al-Qur’an dan hadits untuk mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang
atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama.[6]
Islam sebagai agama
yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia telah menggariskan
prinsip-prinsip yang menjadi landasan utama bagi seseorang dalam menjalankan
kepemimpinan ditengah komunitasnya, prinsip-prinsip tersebut menjadi seuatu
keharusan bagi setiap pemimpin dan merupakan hal paling utama yang harus dimiliki
oleh seorang pemimpin dalam mewujudkankepemimpinan yang sejalan dengan tuntunan
Islam. Diantara perinsip-priinsip tersebut, yaitu:
1.
Tidak menjadikan orang kafir sebagai
pemimpin
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam
surat An-Nisa: 144, yang artinya “hai orang-orang yang beriman janganlah
kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
yang beriman. Apakah kalian hendak mengadakan alasan yang nyata bagi
Allah(untuk menyiksamu)”
2.
Menjadi Uswatun Hasanah
Seorang pemimpin harus mampu menjadi
teladan bagi orang yang dipimpinnya serta mampu mencohtohkan perilaku baik
didepan mereka, sebab orang yang dipimpin berada dibawah kuasa pemimpin. Maka
hendaknya seorang pemimpin mampu dan bahkan harus bisa menjadi panutan tauladan
bagi orang yang dipimpinnya.
3.
Menerapkan Musyawarah
Penyelesaian suatu permasalahan yang
dihadapi dalam sebuah kepemimpinan haruslah dilakukan dengan cara
bermusyawarah. “dan (bagi) orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan
mendirikan sholat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara
mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada
mereka” (QS Al-Syura:38)
4.
Berlaku Adil
“sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS
An-Nisa:58)
Imam Al-Mawardi melihat betapa pentingnya prinsip
“adil” ini bagi seorang pemimpin, sehingga beliau meletakkan sifat ini sebagai
syarat yang paling utama dan pertama bagi seseorang yang layak untuk dipilih
atau dijadikan sebagai pemimpin (Al-Mawardi:1960:6).
B.
Peran Perempuan
dalam Islam
Wanita adalah wani nata (berani menata dirinya) dan
wanit ditata (berani ditata oleh suaminya). Wanita disebut juga dengan
perempuan, berasal dari per-empu(dihormati)-an. Selain itu wanita adalah ibu
jika dikaitkan dengan anak dalam keluarga. Rasulullah SAW bersabda “surga di
bawah telapak kaki ibu”. Ini menunjukkan bahwa kaum wanita begitu terhormat dan
dihormati.[7]
Peran serta kedudukan seorang wanita meliputi
berbagai hal, yaitu:
1.
Sebagai seorang ibu, dalam kehidupan
berkeluarga, peran serta keberadaaan seorang wanita sebagai ibu bagi anak
mereka adalah sebuah kenicayaan(dengan pengecualian). Keutamaan seorang ibu pun
begitu besar seperti disebut dalam sabda Rasulullah diatas “surga di bawah
telapak kaki ibu”.
2.
Sebagai isteri, disinilah Islam menempatkan
keseimbangan di dalam kehidupan khususnya kehidupan berumah tangga seseorang
dimana keberadaan seorang wanita/isteri menjadi penyeimbang bagi suaminya dalam
mewujudkan keharmonisan berumah tangga.
3.
Sebagai pendidik, wanita merupakan guru
dengan rumah tangganya sebagai sekolah yang menciptakan cerdik-cendikiawan,
calon-calon pemimpin, sebab wanitalah yang banyak berada di rumah, mengasuh dan
mendidik anak-anak ke jalan yang baik dan benar serta melayani kebutuhan suami
dan anak-anak (Al-Asy’ari, 1986:28).
4.
Sebagai pemimpin baik agi dirinya
sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat, bahkan pemimpin suatu bangsa dan
negara.
Islam menegaskan bahwa pria dan wanita mempunyai
peranan yang sama di hadapan Allah SWT. Pria dan wanita mempunyai hal dan
kewajiban yang sama terhadap Allah, sesama manusia dan masyarakat. Keduanya
memperoleh hak dan kedudukan sesuai dengan amal perbuatan mereka masing-masing.[8]
C.
Pandangan
Islam(Fiqh Politik Islam) terhadap Kepemimpinan (Presiden) Perempuan
Dalam konteks bernegara peran perempuan sangatlah
dibutuhkan. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits “an-nisa’u miladul
bilad” artinya perempuan adalah tiang negara. Maksudnya, bahwa sesungguhnya
wanita ialah titik tolak dari keberlangsungan suatu negara sebab merekalah yang
menjadi sekolah sekaligus guru paling pertama bagi setiap anak yang mereka
lahirkan. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa maju atau
mundurnya eksistensi suatu negara tidak terlepas kaitannya dari peran seorang
perempuan(ibu) yang secara berkala mencetak penerus-penerus bangsa. Apabila
telah hilang dari mereka akhlak dan suri tauladan, maka rusaklah pula apa yang
terlahir dari diri mereka.
Melihat realitas dewasa ini, benyak pandangan yang
baik secara langsung maupun tidak langsung, memandang kepemimpinan perempuan
dengan sebelah mata serta meragukan akan kualitas kepemimpinan perempuan. Di
Indonesia, sebagaimana kita ketahui sejauh ini kepemimpinan seorang perempuan
walaupun tidak sepenuhnya ditolak, akan tetapi tidak sedikit yang belum
menerima keberadaan perempuan sebagai pemimpin, kecuali dalam keadaan terpaksa
yang mengharuskan seorang perempuan naik panggung dan mengambil alih peranan
sebagai seorang pemimpin.
Hal ini bertolak belakang dengan pandangan Islam yang
memuliakan harkat dan martabat wanita. Karena itu pemikiran Islam progresif
yang memuliakan kaum perempuan perlu terus disegarkan dalam kancah pemikiran
umat Islam dan ini harus dibarengi dengan usaha kaum perempuan untuk terus
berupaya meningkatkan kemampuan mereka baik dibidang pengetahuan, teknologi,
serta bidang-bidang lainnya.[9]
Majelis
Tarjih (Muhammadiyah) berpendapat tidak ada dalil yang merupakan nash untuk
melarang perempuan menjadi pemimpin, baik menjadi hakim, camat, direktur
sekolah, lurah, dan lain sebagainya (Adabul Mar’ah fil Islam, hal :76).
Laki-laki (mukmin) dan perempuan (mukminat) mempunyai kewajiban yang sama untuk
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (Q.S. at-Taubah (9): 71) dan melakukan amal
salih (Q.S. an-Nisa’ (4): 124). Bahkan, dalam sejarah Islam Ummu Sulaim dan
beberapa wanita Ansar ikut berperang bersama Rasulullah saw untuk mengobati dan
membagikan air minum kepada tentara (Adabul Mar’ah fil Islam, hal: 69).
Kenyataan sejarah juga menunjukkan bahwa wanita ikut terlibat pada ranah
publik, misalnya istri Nabi Muhammad saw, ‘Aisyah yang memimpin langsung perang
Jamal, dan Syifa’ binti Abdullah al-Makhzumiyah diangkat menjadi hakim
pengadilan Hisbah di Pasar Madinah pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab.
Mengenai
hal ini Syaikh Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwa setiap perempuan berhak
untuk duduk dalam sebuah kepemimpinan di wilayah publik. Hal ini didasarkan
pada pemaknaan surat at-Taubah ayat 71, bahwa Allah menetapkan bagi perempuan
beriman hak mutlak memerintah sebagaimana laki-laki, termasuk di dalamnya
memerintah dalam urusan politik atau untuk kepentingan publik. Sedangkan hadis
yang berbunyi لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْ أَمْرَهُمْ
إِمْرَأَةٌ menjelaskan tentang pemimpin atas seluruh penduduk sebuah
negeri, atau jabatan kepala negara sebagaimana dapat dipahami dari kata-kata “amrahum”
(urusan mereka), maksudnya adalah urusan kepemimpinannya mencakup semua urusan
penduduk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perempuan boleh menerima jabatan
sebagai pemimpin atau memegang kendali kekuasaan menurut spesialisasi
masing-masing, seperti jabatan memberi fatwa dan berijtihad, pendidikan,
administrasi dan sejenisnya. (al-Qaradhawi, hal. 529-530). Hal yang senada juga
diungkapkan oleh Buya Hamka, beliau memaknai surat at-Taubah ayat 71 bahwa
orang mukmin laki-laki maupun perempuan, mereka bersatu dan saling memimpin
satu sama lain dalam satu kesatuan i’tiqad, yaitu percaya kepada Allah
swt. Dengan kata lain, perempuan ambil bagian dalam menegakkan agama, dan
membangun masyarakat beriman, baik laki-laki dan perempuan (Hamka, Tafsir
al-Azhar hal. 292-293).[10]
Dr. Muhammad Sayid
Thanthawi, Syaikh Al-Azhar dan Mufti Besar Mesir, menyatakan bahwa kepemimpinan
wanita dalam posisi jabatan apapun tidak bertentangan dengan syariah. Baik
sebagai kepala negara (al-wilayah al-udzma) maupun posisi jabatan di bawahnya.
Dalam fatwanya yang dikutip majalah Ad-Din wal Hayat, Tantawi menegaskan:
(Wanita yang menduduki posisi jabatan kepala negara tidaklah bertentangan
dengan syariah karena Al-Quran memuji wanita yang menempati posisi ini dalam
sejumlah ayat tentang Ratu Balqis dari Saba. Dan bahwasanya apabila hal itu
bertentangan dengan syariah, maka niscaya Al-Quran akan menjelaskan hal
tersebut dalam kisah ini. Adapun tentang sabda Nabi bahwa “Suatu kaum tidak
akan berjaya apabila diperintah oleh wanita” Tantawi berkata: bahwa hadits ini
khusus untuk peristiwa tertentu yakni kerajaan Farsi dan Nabi tidak menyebutnya
secara umum. Oleh karena itu, maka wanita boleh menduduki jabatan sebagai
kepala negara, hakim, menteri, duta besar, dan menjadi anggota lembaga
legislatif. Hanya saja perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh Al-Azhar
karena jabatan ini khusus bagi laki-laki saja karena ia berkewajiban menjadi
imam shalat yang secara syariah tidak boleh bagi wanita).[11]
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam
Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam
lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik
dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan
hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang
seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat
bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan,
ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti
memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.[12]
Jumhur ulama sepakat akan haramnya wanita memegang kekuasan dalam
al-wilayatul-kubra atau al-imamatul-uzhma (pemimpin tertinggi). Di
mana wanita berperan sebagai pemimpin
tertinggi dalam urusan pemerintahan. Sebab
dalam matan hadits tersebut terdapat kata " Wall u
A m r ak um " (Yang Memerintah Kamu Semua), yang ditafsirkan sebagai Khalifah
dalam sistem politik Islam.
Sehingga jumhur ulama memberikan pengharaman pada wanita.
Hampir ulama klasik memandang perlu untuk mengetengahkan bahwa hak menjadi
khalifah adalah haq laki-laki, bukan wanita. Ini diungkapkan baik oleh
Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun.[13]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejak awal Islam dipromosikan sebagai agama pembebasan maka
pembebasan yang pertama adalah
pembebasan kaum wanita dari kesewang- wenangan kaum pria baik karena kultural
suatu bangsa atau budaya masyarakat setempat yang pasti bahwa dengan kedatangan
Islam wanita terbebas dari segala belenggu penindasan dan ketidak adilan atas
segala haknya, termasuk menjadi seorang pemimpin. Tidak bolehnya wanita duduk dalam kepemimpinan politik adalah
produk ulama bias gender. Karena dari pengertian kepemimpinan itu sendiri
sampai pada pengangkatan derajat wanita yang dilakukan Rasulullah bahkan dalam
Alquran tidak satupun ayat yang menyatakan pelarangan bagi wanita untuk menjadi
pemimpin. Saat wanita memiliki kemampuan dan loyalitas serta kecerdasan yang
tinggi maka tidak ada salahnya wanita maju dipanggung politik untuk memberikan
sumbangsi yang berharga untuk kepentingan agama, bagsa dan negara atas ridha
Allah swt.
Peran serta kedudukan seorang wanita meliputi
berbagai hal, yaitu: 1) Sebagai seorang ibu. 2) Sebagai isteri. 3) Sebagai
pendidik. 4) Sebagai pemimpin baik agi dirinya sendiri, keluarga, lingkungan
masyarakat, bahkan pemimpin suatu bangsa dan negara.
Perbedaan pendapat diantara kalangan ulama baik ulama salaf maupun
kontemporer ada umumnya terletak pada pemahaman mereka terhadap dalil-dalil
syara’ yang berbicara soal kepemimpinan perempuan serta persamaan hak dan
kewajiban antara perempuan dan laki-laki dalam hal amar ma’ruf nahi munkar. Jika
dilihat dengan seksama, mayoritas ulama yang mengharamkan kepemimpinan seorang
perempuan terutama dalam hal kepemimpinan yang mencakup wilayah kubro, yaitu
para ulama salaf, termasuk imam madzhab arba’. Sedangkan mayoritas ulama
kontemporer/khalaf membolehkan kepemimpina perempuan dengan syarat dan
ketentuannya masing-masing.
Hemat penulis, dalam menyikapi kepemimpinan perempuan maka perlu kiranya
untuk melihat terlebih dahulu unsur mashlahat dan mudharat-nya.
Baik mashlahat-mudharat bagi perempuan itu sendiri ataupun ashlahat-mudharat
yang mencakup dari apa yang dipimpin oleh seorang perempuan jika dia telah
menduduki posisi (pemimpin) tersebut. Mengingat perumpuan memiliki segudang
tanggung jawab besar yang harus dipikulnya, bahkan sudah sejak dalam tanggung
jawab rumah tangganya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ismanto, Jumari. 1982. Peranan Wanita dalam
Pembangunan Bangsa dalam Islam.Surabaya: PT Bina Ilmu.
Al-Banjari, Rachmat Ramadhan. 2008. Prophetic Leadership.
Jogjakarta: DIVA Press.
Surwandono. 2001. Pemikiran Politik Islam. Yogyakarta: LPPI UMY.
Mufti, Muhammad Ahmad dan Al-Wakil, Sami salih.
2005. HAM Menurut Barat, HAM Menurut Islam. Bogor: Pustaka Thariqul
Izzah.
Supriyanto Pasir.2013. Menjadi Pemimpin Muslim Sejati.
Yogyakarta: DPPAI UII.
Norma Dg. Siame.2012. Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif
Syariat Islam. Jurnal Musawa. Volume 4 Nomor 1 Juni 2012.
Widyastini. 2012. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Wanita
dalam Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia. Jurnal Filsafat Volume 22
Nomor 3 Desember 2012.
Fathurrahman. 2016. Kepemimpinan Perempuan dalam Islam;
Legitimasi Sejarah Atas Kepemimpinan Politik Perempuan. Jurnal Sekolah
Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Bima, Volume 4 Nomor 1 Januari-Juni
2016.
https://jurnalalishlah.wordpress.com/2014/09/06/konsep-kepemimpinan-dalam-islam/, diakses pada: 12 Juni 2018, pukul. 11:28.
https://pesantrenalmuslim.wordpress.com/2017/07/09/hukum-wanita-jadi-pemimpin-dalam-pandangan-islam/, diakses pada 13 Juli 2018, pukul: 10:12.
M. Halimi, https://islamtradisionalis.wordpress.com/2010/05/14/kepemimpinan-wanita-dalam-perspektif-agama/, diakses pada 13 Juli 2018, pukul: 10:14
https://tarjih.or.id/fatwa-tentang-kebolehan-wanita-menjadi-pemimpin/, diakses pada: 13 Juli 2018, pukul. 09:45.
[1] Rachmat
Ramadhana al-Banjari, Propethic Leadership, (Yogyakarta: DIVA Press,
2008), hal. 21.
[2] Ibid,. Hal.
78
[3]
Fathurrahman, ‘Kepemimpinan Perempuan dalam Islam; Legitimasi Sejarah Atas
Kepemimpinan Politik Perempuan’, Jurnal Sekolah Tinggi Agama Islam
Muhammadiyah Bima, Volume 4 Nomor 1 Januari-Juni 2016, hal. 137.
[4] Norma Dg.
Siame, Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Syariat Islam, Jurnal
Musawa, Volume 4 Nomor 1 Juni 2012, hal. 71.
[5] https://jurnalalishlah.wordpress.com/2014/09/06/konsep-kepemimpinan-dalam-islam/, diakses pada:
12 Juni 2018, pukul. 11:28.
[7] Widyastini, Pandangan
Islam Terhadap Kepemimpinan Wanita dalam Mewujudkan Masyarakat Madani di
Indonesia, Jurnal Filsafat Volume 22 Nomor 3 Desember 2012, hal. 239.
[9] Widyastini, Pandangan
Islam Terhadap Kepemimpinan Wanita dalam Mewujudkan Masyarakat Madani di
Indonesia, Jurnal Filsafat Volume 22 Nomor 3 Desember 2012, hal. 243.
[10] https://tarjih.or.id/fatwa-tentang-kebolehan-wanita-menjadi-pemimpin/, diakses pada:
13 Juli 2018, pukul. 09:45.
[11] https://pesantrenalmuslim.wordpress.com/2017/07/09/hukum-wanita-jadi-pemimpin-dalam-pandangan-islam/, diakses pada
13 Juli 2018, pukul: 10:12
[12] M. Halimi, https://islamtradisionalis.wordpress.com/2010/05/14/kepemimpinan-wanita-dalam-perspektif-agama/, diakses pada
13 Juli 2018, pukul: 10:14
[13] Norma Dg.
Siame, Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Syariat Islam, Jurnal
Musawa, Volume 4 Nomor 1 Juni 2012, hal. 79-80.