Jumat, 22 Desember 2017

Sebelum Ku Pergi Berladang

SEBELUM KU PERGI BERLADANG

solusiproperti.com-rumah
Pagi itu, seperti biasa aku yang sudah mulai renta ini memulai hariku dengan menyiapkan cangkul lusuhku yang akan kubawa untuk berladang sembari sejenak menghirup segarnya udara pagi di halaman depan rumah tua ini. Rumahku terletak di Desa Pasir Gintung, Kecamatan Jayanti, Kabupaten Tangerang, berada persis di sebelah barat Pondok Pesantren Daar El-Qolam. Merdunya lantunan ayat suci Al-Qur’an yang keluar dari menara masjid pesantren setiap selepas shubuh sudah menjadi kawan lamaku sejak dua belas tahun lalu, sejak kami sekeluarga menempati rumah warisan orang tuaku ini. Namun, ada yang membuat pagi ini terasa lebih istimewa buat ku dari hari biasanya. Mungkin, sebab kehadiran anak semata wayangku yang baru semalam ia tiba ditemani dengan istrinya yang cantik itu. Ya, setahun sejak kami menempati rumah ini putraku memutuskan untuk berpindah ke Jakarta. Merantau katanya, mencari kehidupan baru dan pekerjaan baru yang lebih mumpuni, serta ingin mengubah garis kehidupannya menjadi lebih baik. Itulah sebabnya ia mencoba mengadu nasib di kota metropolitan tersebut.
Menjadi petani kopi di daerah pelosok yang jauh dari kota memang bukan suatu pekerjaan yang menjanjikan kekayaan, apalagi impian untuk menjadi seorang hartawan. Tapi, di usiaku yang sudah mendekati kepala tujuh ini, hidup jauh dari keramaian kota dan kebisingan kendaraan yang lalu-lalang setiap harinya adalah alasan terbesarku bertahan di desa ini. Berbalik 180 derajat memang dengan anakku yang masih diselimuti oleh semangat besarnya untuk bisa meraih kejayaan di uisa muda.
Sama seperti kemarin, aku berdo’a sebelum beranjak menuju ladang kopiku yang juga merupakan warisan orang tuaku. Di sela do’aku, Amad; begitu aku memanggil anakku; datang menghampiriku dengan membawa setoples emping dan secangkir kopi khas racikan keluarga.
“Bah, ini kubuatkan kopi untuk abah...spesial dari anak abah tercinta”, ujarnya sambil menaruh secangkir kopi hangat di hadapanku.
“Gimana pekerjaanmu di Jakarta? Lancar ?”, tanyaku yang penasaran dengan apa yang menjadi kegiatan sehari-hari anakku selama di Jakarta.
“Alhamdulillah bah, lancar...aku sekarang punya kedai kopi sendiri, penghasilannya lumayan bisa buat sewa rumah sama kredit mobil, itu juga masih ada lebihnya bah, sebagian aku tabung dan sebagiannya lagi ku gunakan buat keperluan rumah sehari-hari”,.
Sambil menikmati kopi buatannya, ku perhatikan betul setiap kata yang keluar dari mulutnya atau bahkan hatinya. Seakan ia ingin aku mengetahui semua tentang hidupnya. Habis, harus kepada siapa lagi ia menceritakan semua keluh kesah dalam hidupnya kalau bukan kepada ku, semenjak pendengaran istrinya terganggu akibat kecelakaan bus yang mereka tumpangi beberapa bulan lalu.
Aku bertanya padanya “kenapa harus kedai kopi? Kenapa tidak warung makan atau toko sembako misalnya, yang penghasilannya lebih besar dari sekedar kedai kopi”.
Mungkin agaknya pertanyaan ku itu menyinggung hatinya, sebab seketika itu ia langsung terdiam. Tak lama ia meminta istrinya untuk duduk disampingnya, lantas dengan mesranya ia mencium kening istrinya itu di hadapanku seraya berkata “bukan itu yang aku cari bah, bukan materi ataupun uang semata yang aku inginkan. Di Jakarta bah, dimana aku harus jauh dari keluargaku dan hidup dengan segala keterbatasan membuatku belajar dan paham bahwasannya materi bukanlah segalanya. Ada yang lebih dari itu. Abah inget, dulu waktu aku mesih kecil abah sering memberiku secangkir kecil kopi sebelum aku berangkat ke sekolah, kemudian abah mengajakku bercerita layaknya aku seorang dewasa”,
Sejenak ia menghela napas “dulu abah sering bercerita tentang kopi, mulai dari saat mereka ditanam hingga sampai kepada kita seperti saat ini, abah selipkan didalam cerita itu pelajaran-pelajaran hidup yang dulu aku belum begitu paham. Dan sekarang aku mulai mengerti bah”
Air matanya mulai turun, nampaknya selaput matanya sudah tidak mampu lagi membendung apa yang ada di dalam hatinya. “itulah kenapa aku lebih memilih kedai kopi, karena setiap kali aku berada di sana aku merasa bahwa aku sedang berada di kampung halamanku. Cangkir-cangkir di kedai itu mengingatkanku pada cangkir kopi yang dulu sering kita gunakan. Bahkan, setiap kali aku meracik secangkir kopi, aku merasakan bahwa abah ada disampingku dan menuntunku bagaimana kopi tersebut menjadi secangkir kopi yang istimewa bagi siapapun yang datang di kedaiku.”
Kini giliranku yang tak mampu membendung air mataku ini.
Tambahnya “aku merasa bahwa tidak ada lagi cara yang tepat buat aku mengingat kedua orang tuaku selain dengan do’a dan semua ini. Dan sekarang kedai kopiku sudah tersebar di kota-kota besar di Indonesia, bahkan menjadi kedai kopi ternama di Jakarta.”
Seketika itu juga aku bangun dan menghampirinya, memeluknya dengan erat dihadapan dan membisikannya “nak, kau adalah harta paling berharga buat abah. Apapun yang terjadi padamu kelak, kau tetaplah permata abah, buah hati abah dan bekal abah ketika abah di akhirat kelak. Do’akan abah kalau nanti abah udah gak ada, inget pesan-pesan abah ya nak, tetaplah menjadi orang yang selalu memberikan manfaat bagi siapapun yang ada di sekitarmu. Sebanyak apapun hartamu tidak akan berarti jika tidak kau gunakan dijalan-Nya.”
“abah pamit dulu yah...masih ada pekerjaan abah di kebun yang harus abah selesaikan”

Dengan pandangan yang masih dipenuhi oleh air mata, ia saksikan tubuhku yang renta ini pergi kepangkuan-Nya, memenuhi panggilan sang ilahi.

Muhammad Chandra, peminum kopi, penjaga perpustakaan sukarela "Tangga Baca".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MASIHKAH KITA?
Sesore ini, Sedang hujan kian membasahi Di sela-sela bale bambu depan rumahku Kuselipkan sepilihan rindu Sambil terus bermunajat Pada semesta sore yang menjadi waktu paling romantis?
MENGUNGKAP YANG TERSEMBUNYI
Cinta, menurut Jalaluddin ar-Rumi, merupakan cahaya kehidupan dan nilai kemanusiaan. Sesungguhnya cinta itu kekal; jadi harus diberikan kepada yang kekal pula. Ia tidak pantas diberikan kepada yang ditakdirkan fana’
SEBELUM KUPERGI BERLADANG
Sama seperti kemarin, aku berdo’a sebelum beranjak menuju ladang kopiku yang juga merupakan warisan orang tuaku. Di sela do’aku, Amad; begitu aku memanggil anakku; datang menghampiriku dengan membawa setoples emping dan secangkir kopi khas racikan keluarga. “Bah, ini kubuatkan kopi untuk abah...spesial dari anak abah tercinta”, ujarnya sambil menaruh secangkir kopi hangat di hadapanku.