SEBELUM KU PERGI BERLADANG
solusiproperti.com-rumah |
Pagi itu, seperti biasa aku yang sudah mulai renta ini memulai
hariku dengan menyiapkan cangkul lusuhku yang akan kubawa untuk berladang
sembari sejenak menghirup segarnya udara pagi di halaman depan rumah tua ini.
Rumahku terletak di Desa Pasir Gintung, Kecamatan Jayanti, Kabupaten Tangerang,
berada persis di sebelah barat Pondok Pesantren Daar El-Qolam. Merdunya
lantunan ayat suci Al-Qur’an yang keluar dari menara masjid pesantren setiap
selepas shubuh sudah menjadi kawan lamaku sejak dua belas tahun lalu, sejak kami
sekeluarga menempati rumah warisan orang tuaku ini. Namun, ada yang membuat
pagi ini terasa lebih istimewa buat ku dari hari biasanya. Mungkin, sebab
kehadiran anak semata wayangku yang baru semalam ia tiba ditemani dengan
istrinya yang cantik itu. Ya, setahun sejak kami menempati rumah ini putraku
memutuskan untuk berpindah ke Jakarta. Merantau katanya, mencari kehidupan baru
dan pekerjaan baru yang lebih mumpuni, serta ingin mengubah garis kehidupannya menjadi
lebih baik. Itulah sebabnya ia mencoba mengadu nasib di kota metropolitan
tersebut.
Menjadi petani kopi di daerah pelosok yang jauh dari kota memang
bukan suatu pekerjaan yang menjanjikan kekayaan, apalagi impian untuk menjadi
seorang hartawan. Tapi, di usiaku yang sudah mendekati kepala tujuh ini, hidup
jauh dari keramaian kota dan kebisingan kendaraan yang lalu-lalang setiap
harinya adalah alasan terbesarku bertahan di desa ini. Berbalik 180 derajat
memang dengan anakku yang masih diselimuti oleh semangat besarnya untuk bisa
meraih kejayaan di uisa muda.
Sama seperti kemarin, aku berdo’a sebelum beranjak menuju ladang
kopiku yang juga merupakan warisan orang tuaku. Di sela do’aku, Amad; begitu
aku memanggil anakku; datang menghampiriku dengan membawa setoples emping dan
secangkir kopi khas racikan keluarga.
“Bah, ini kubuatkan kopi untuk abah...spesial dari anak abah
tercinta”, ujarnya sambil menaruh secangkir kopi hangat di hadapanku.
“Gimana pekerjaanmu di Jakarta? Lancar ?”, tanyaku yang penasaran dengan
apa yang menjadi kegiatan sehari-hari anakku selama di Jakarta.
“Alhamdulillah bah, lancar...aku sekarang punya kedai kopi sendiri,
penghasilannya lumayan bisa buat sewa rumah sama kredit mobil, itu juga masih
ada lebihnya bah, sebagian aku tabung dan sebagiannya lagi ku gunakan buat
keperluan rumah sehari-hari”,.
Sambil menikmati kopi buatannya, ku perhatikan betul setiap kata
yang keluar dari mulutnya atau bahkan hatinya. Seakan ia ingin aku mengetahui
semua tentang hidupnya. Habis, harus kepada siapa lagi ia menceritakan semua
keluh kesah dalam hidupnya kalau bukan kepada ku, semenjak pendengaran istrinya
terganggu akibat kecelakaan bus yang mereka tumpangi beberapa bulan lalu.
Aku bertanya padanya “kenapa harus kedai kopi? Kenapa tidak warung
makan atau toko sembako misalnya, yang penghasilannya lebih besar dari sekedar
kedai kopi”.
Mungkin agaknya pertanyaan ku itu menyinggung hatinya, sebab
seketika itu ia langsung terdiam. Tak lama ia meminta istrinya untuk duduk
disampingnya, lantas dengan mesranya ia mencium kening istrinya itu di hadapanku
seraya berkata “bukan itu yang aku cari bah, bukan materi ataupun uang semata
yang aku inginkan. Di Jakarta bah, dimana aku harus jauh dari keluargaku dan
hidup dengan segala keterbatasan membuatku belajar dan paham bahwasannya materi
bukanlah segalanya. Ada yang lebih dari itu. Abah inget, dulu waktu aku mesih
kecil abah sering memberiku secangkir kecil kopi sebelum aku berangkat ke
sekolah, kemudian abah mengajakku bercerita layaknya aku seorang dewasa”,
Sejenak ia menghela napas “dulu abah sering bercerita tentang kopi,
mulai dari saat mereka ditanam hingga sampai kepada kita seperti saat ini, abah
selipkan didalam cerita itu pelajaran-pelajaran hidup yang dulu aku belum
begitu paham. Dan sekarang aku mulai mengerti bah”
Air matanya mulai turun, nampaknya selaput matanya sudah tidak
mampu lagi membendung apa yang ada di dalam hatinya. “itulah kenapa aku lebih
memilih kedai kopi, karena setiap kali aku berada di sana aku merasa bahwa aku
sedang berada di kampung halamanku. Cangkir-cangkir di kedai itu mengingatkanku
pada cangkir kopi yang dulu sering kita gunakan. Bahkan, setiap kali aku
meracik secangkir kopi, aku merasakan bahwa abah ada disampingku dan menuntunku
bagaimana kopi tersebut menjadi secangkir kopi yang istimewa bagi siapapun yang
datang di kedaiku.”
Kini giliranku yang tak mampu membendung air mataku ini.
Tambahnya “aku merasa bahwa tidak ada lagi cara yang tepat buat aku
mengingat kedua orang tuaku selain dengan do’a dan semua ini. Dan sekarang
kedai kopiku sudah tersebar di kota-kota besar di Indonesia, bahkan menjadi
kedai kopi ternama di Jakarta.”
Seketika itu juga aku bangun dan menghampirinya, memeluknya dengan
erat dihadapan dan membisikannya “nak, kau adalah harta paling berharga buat abah.
Apapun yang terjadi padamu kelak, kau tetaplah permata abah, buah hati abah dan
bekal abah ketika abah di akhirat kelak. Do’akan abah kalau nanti abah udah gak
ada, inget pesan-pesan abah ya nak, tetaplah menjadi orang yang selalu
memberikan manfaat bagi siapapun yang ada di sekitarmu. Sebanyak apapun hartamu
tidak akan berarti jika tidak kau gunakan dijalan-Nya.”
“abah pamit dulu yah...masih ada pekerjaan abah di kebun yang harus
abah selesaikan”
Dengan pandangan yang masih dipenuhi oleh air mata, ia saksikan
tubuhku yang renta ini pergi kepangkuan-Nya, memenuhi panggilan sang ilahi.
Muhammad Chandra, peminum kopi, penjaga perpustakaan sukarela "Tangga Baca".