Oleh : Muhammad Chandra
Cinta, menurut Jalaluddin ar-Rumi, merupakan cahaya kehidupan
dan nilai kemanusiaan. Sesungguhnya cinta itu kekal; jadi harus diberikan
kepada yang kekal pula. Ia tidak pantas diberikan kepada yang ditakdirkan fana’
Pemikiran
Rumi yang ia tuangkan dalam tulisan-tulisannya –baik yang ditulisnya secara
pribadi maupun yang lahir berkat bantuan para muridnya- merupakan gambaran pengalaman mistik pribadi
yang ia dapatkan semasa hidupnya. Akan tetapi berbeda dengan pemikir-pemikir
lain, apa yang ditulis oleh Rumi kemudian berhasil terangkat ke tingkat yang
lebih tinggi(spiritual). Pemikiran Rumi, jika diamati akan mendatangkan kesan
bagi pembacanya seakan sedang menyusuri rimbanya hutan yang ditumbuhi banyak pepohonan,
dimana terkadang pada satu sisi saling terhubung antar satu pohon dengan pohon
lainnya, di sisi lain pohon-pohon tersebut berdiri kokoh dengan sendirinya.
Dalam
pengantar buku Kitab Cinta Ulama Klasik karya Muhammad Muhibbudin ditulis
disitu bahwa menurut Jalaluddin Rumi cintalah yang merubah segalanya. Orang
yang kuat perkasa menjadi tak berdaya karena cinta; orang yang lemah tak
berdaya menjadi semangat bertenaga karena cinta; dan orang bisa menangis karena
cinta, orang bisa tertawa dan senyum juga karena cinta. Energi cinta sedemikian
dahsyatnya dalam merubah dan memengaruhi kehidupan. Cinta adalah sayap yang
sanggup menerbangkan manusia yang membawa beban berat ke angkasa raya, dan dari
kedalaman lautan, cinta mampu mengangkat beban itu ke ketinggian angkasa.[1]
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa
Maulana Jalaluddin Rumi merupakan tokoh sufi terkemuka dunia. Dalam posisinya
sebagai seorang tokoh sufi dunia, Rumi kian menarik perhatian para sarjana
dalam meneliti dan memahami maksud dari pemikiran-pemikirannya yang ia tuangkan
dalam karya-karyanya sehingga banyak dari karya-karyanya tersebut yang
dijadikan objek kajian oleh para pemikir kontemporer. Terutama kisah-kisah yang
disampaikannya yang tak lepas dari ajaran-ajaran Islam baik yang terkandung
dalam Al-Qur’an, Hadits, maupun kisah-kisah yang dilahirkan sejarah dari
kejadia-kejadian terdahulu yang mengandung banyak nilai-nilai
filosifis-spiritual. Tak
berlebihan kiranya jika salah satu karya Rumi yang berjudul Matsnawi
hingga saat ini disanjung dan diakui banyak kalangan sebagai salah satu puisi
sufi teragung di sepanjang sejarah Islam, bahkan mungkin salah satu puisi
mistik besar dalam sejarah peradaban dunia.
Maulana Jalaluddin Rumi merupakan sosok
seorang yang sufi yang sangat menjaga diri dalam melawan godaan nafsu duniawi
yang senantiasa menggoda kemurnian jiwa. Sebagaimana dikisahkan oleh anaknya,
Sultan Walad, bahwa Rumi adalah senantiasa mengabaikan segala bentuk kenyamana
materi dan menekan hasratnya akan segala unsur kenikmatan duniawi. Ketika Sultan Walad
menanyakan Rumi perihal kewaspadaanya terhadap segala keinginan dan hasrat
jasmani, Rumi menjawab “nafsu adalah penipu yang hebat, dan orang-orang harus
selalu waspada agar setan tidak menguasai dirinya”. Nampaknya Rumi ingin menyampaikan
maksud bahwa kehidupan
di dunia ini sepenuhnya adalah sesuatu yang fana dan ia mengajak
siapapun untuk dapat menanggulangi godaan nafsu yang terus berusaha merusak
kehidupan mannusia baik dari dalam maupun dari luar diri manuisa itu sendiri, sebab
raga atau jism yang tampak dari seseorang hanyalah kendaraan bagi ruh
untuk menjalankan pengembaraan spiritual. Oleh karenanya apabila raga telah
dirusak oleh hasrat terhadap ke-fana-an materi, maka sulit baginya untuk
dapat menyingkap Realitas yang sebenarnya(kasyf).
Dalam
salah satu puisinya, Rumi mengajak manusia untuk tidak mudah dikendalikan oleh
nafsunya.
“Tariklah tali benang nafsu tak
terkendali keras-keras
Waspadalah dengan jebakan dari bunga dunia
yang tak beriman
Jangan mempercayai baju sucinya
Atau untaian tasbih yang panjang jangan
sekali-kali menyatukan dirimu dengannya
Atau berkuda bersama-sama dengannya”[2]
Dari
penggalan puisi tersebut, Rumi mengajak manusia untuk terus waspada terhadap
nafsu dengan menjaga diri sekuat tenaga untuk tidak mengikuti keinginan nafsu.
Bagi Rumi, nafsu tak ayalnya sebuah jebakan yang nampak dari luar bagaikan
bunga elok. Akan tetapi di dalamnya membawa banyak racun yang senantiasa
menghancurkan jiwa-jiwa yang lemah.
Puisi-puisi yang digubah oleh rumi dalam
berbagai kesempatan merupakan buah kesucian jiwanya, oleh karenanya puisi-puisi
tersebut muncul dengan sendirinya dari lisan Maulana (bil bidahah).
“Demi
Tuhan, saya tidak peduli pada puisi, dan di mataku tak ada yang lebih buruk
daripada itu. Puisi menjadi hambatan bagiku, seperti orang tak sengaja
menyentuhkan tangannya kepada babat dan membasuhnya demi selera makan tamunya.
Karena selera tamu itu terarah ke babat itu.”
Annemarie
Schimmel mengatakan bahwa di awal ungkapan itu Rumi menyatakan bahwa ia menyampaikan
puisi pada saat diilhami oleh sahabat mistisnya(Tuhan) (Schimmel:2005). Itulah
kiranya yang membedakan dalam proses melahirkan sebuah syair antara Rumi dengan
penyair-penyair lainnya.
Jika
dilihat secara dhahir, syair-syair Rumi hampir seluruhnya berbicara soal
cinta dan upaya pemurnian jiwa. Kendati demikian apa yang disampaikan Rumi
diyakini oleh para peneliti sebagai ‘puisi mistik terkemuka’ sepanjang sejarah
umat manusia.
Rumi bercerita bahwa pernah ada seorang
sufi bertanya kepada seorang pria kaya. “mana yang lebih kai cintai, dosa atau
kekayaan?” pria itu menjawab bahwa dia lebih mencintai kekayaan. Sang sufi lalu
berkata “yang kau katakana itu tidak benar, sebab kau akan meninggalkan
kekayaanmu dan akan tetap membawa serta semua perbuatanmu”. Lanjutnya
“laksanakanlah sesuatu agar kau bias membawa apa yang paling kau cintai (yaitu
kekayaan), dengan membelanjakannya di jalan yang baik dan untuk bersedekah, dan
dengan demikian kau bias menyerahkan kekayaanmu kepada Allah sebelum kau dating
menghadap Allah, sebab hal itu telah ditulis dalam Al-Qur’an. Dan apa pun yang
kau serahkan sebelum kau datang sendiri akan diterima oleh Tuhanmu, itulah
pahala yang paling baik dan paling besar”[3]
Jika kita sepakat untuk mengasumsikan bahwa
kebutuhan terkait pemeliharaan harta materi merupakan bagian dari kebutuhan tahsiny
yaitu kebutuhan yang dituntut oleh harga diri norma dan tatanan hidup dan
berhubungan dengan kebutuhan keindahan tampilan diri manusia seperti pemenuhan
pakaian, kendaraan dan makanan tambahan, maka apa yang disampaikan Rumi melalui
syair-syairnya telah memperingati manusia sekaligus mengajarkan tentang
bagaimana seharusnya seseorang mengontrol keinginan-keingina terhadap materi
tersebut agar tidak terjerumus kedalam lubang ketamakan terhadap harta.
Perhatian
Rumi terhadap jiwa juga amatlah besar. Jiwa adalah wujud rohani (Hadi, 1985:
42). Bahwa alam materi, harta, kesenang-senangan duniawi bukanlah tempat sejati
baginya. Jiwa harus keluar dari keterlenaan duniawi untuk membumbung ke alam
ruhani. Tempat ideal dan sejati bagi jiwa.[4]
Untuk menjaga keharmonisan yang berlangusng di dalam jiwa seseorang, maka orang
tersebut perlu memperhatikan berbagai unsur yang dapat merusaknya, dalam banyak
kesempatan Rumi menyampaikan bahwa faktor tersebar yang paling berpengaruh
dalam rusaknya jiwa seseorang ialah segala bentuk material-duniawi. Iakatan
antara seseorang dengan materi tersebutlah yang akan menghantarkan orang
tersebut pada kemafsadatan dirinya sendiri.
Maulana
Rumi melihat bahwa manusia terdiri dari beberapa komponen yang saling
berkaitan, yaitu tubuh, nafsu, dan jiwa/hati. Bagi Rumi, tubuh hanyalah
kulit/selimut yang membungkus ruh. Rumi tidak begitu menyoal dalam pandangannya
tentang tubuh karena ia melihat adanya komponen primordial yang lebih besar
dampaknya bagi diri manusia yaitu hati. Sama seperti tokoh-tokoh sufi lainnya,
konsentrasi Rumi banyak dicurahkan dalam pembahasan mengenai persoalan menjaga
kesucian hati dan melawan godaan nafsu. Rumi menggambarkan nafsu diantaranya
sebagai berikut:
“bila
nafsu berkata meong seperti kucing, kutaruh nafsu itu di dalam tas bagaikan
kucing”
Komponen
ketiga yaitu hati. Maulana menggambarkan hati sebagai lilin yang menyala dengan
api Ilahi atau jendela menuju Tuhan dan Nabi Muhammad SAW adalah jiwanya jiwa.[5]
Kompnen berikutnya adalah akal, yang mana Maulana membagi akal kedalam dua
bagian mencakup akal universal dan akal parsial.
Rumi tidak hanya terkenal sebab
syair-syair sufistiknya yang indah dan mampu menggugah jiwa, lebih dari itu
yang menjadikannya tetap abadi sampai sekarang ini ialah pengalaman irfani nya
yang telah ‘terbang terlebih dahulu menuju pintu-pintu langit’. Kendati
demikian, Rumi tetap menjaga aspek ‘fungsi’ sebagai alat yang paling
berpengaruh bagi diri seseorang dalam bertindak laku serta memahami segala
bentuk realitas kehidupan di dunia. Sebagaimana dijelaskan Miswari, tidak perlu
eksplorasi epistemologis yang terlalu jauh dan berbelit-belit. Tuhan tidak
berjarak dari diri. Indra dan penalaran harus dihentikan. Itulah jalan mengenal
Tuhan.[6]
Bahkan lebih lanjut lagi Miswari menyatakan sebagian filosof sejatinya terlalu
berlebihan dalam mengeksplorasi akal(berfilsafat) terhadap pemahaman mereka
tentang Tuhan dan tanpa mereka sadari semangat teologis-eksploratif tersebut
tidak lain adalah bentuk penguasaan nafsu yang mengendalikan mereka.
Dalam
menempuh jalan cinta maka seseorang perlu menundukkan nalarnya. Bahwa perihal
Sang Mutlak adalah hal yang berda jauh di atas nalar makhluk manapun.
Sebagaimana bunyi hadits “tafakkaru fi khalqillah wa la tafakkaru fi
dzatillah”. Sejauh apapun Maulana menyampaikan pengalaman spiritualnya, ia
senantiasa menjaga dan menempatkan akal di bawah ‘Esensi’. Hal yang dilakukan
Rumi tersebut kiranya bertujuan guna menjaga keberlangsungan fungsi akal agar
tetap berada pada porosnya sehingga tidak mendatangkan kerusakan baik bagi diri
seseorang maupun bagi akal/nalar itu sendiri. Al-Qur’an telah memberikan
berbagai per-mitsal-an dalam hal seperti ini, kisah Musa yang membelah
lautan, Ibrahim yang terjaga ditengah di tengah kobaran api, Yunus yang mampu
bertahan hidup di daam perut ikan yang melahapnya, Muhammad SAW yang mampu
membelah bulan serta kisah isra’ mi’rajnya, yang seluruhnya termaktub
dalam teks suci Agama memberikan penegasan yang begitu besar akan kedigdayaan
kuasa cinta yang jauh meninggalkan nalar. Sebaliknya, upaya-upaya penalaran
terhadap hal-hal seperti contoh yang dijelaskan sebelumnya justru hanya akan
mendatangkan kerusakan penalaran/akal itu sendiri.
Bagi
kaum sufi, termasuk Maulana Rumi, ‘kesatuan’ adalah tujuan akhir dari perjalan
panjang yang mereka tempuh. Sebagai seorang makhluk yang sejatinya diciptakan
berpasang-pasangan Rumi tidak menafikkan hal tersebut. Dalam kehidupannya ia
menikah dengan seorang wanita dan juga
dikarunia dua orang anak. pernikahan yang pada umumnya diartikan sebagai
bertemunya dua orang manusia (pria-wanita) sesuai dengan naluri ke-manusia-an
nya, kaum sufi, sebagaimana Maulana Rumi memaknai sebuha pernikaha sebagai lambang yang menggetarkan jiwa,
karena pernikahan tersebut merupakan simbol penyatuan sejati.
Tentang
pernikahan Jalaluddin Rumi menggubah sajak yang indah:
Betapa
bahagia saat kita duduk di istana, kau dan aku
Dua
sosok dan dua tubuh namun hanya satu jiwa, kau dan aku
Harum
semak dan senandung burung 'kan menebarkan pesona
pada
saat kita memasuki taman, kau dan aku
Bintang-bintang
nan beredar kan sengaja menatap kita lama-lama:
bagi
mereka, kita kan menjadi bulan, kau dan aku
Kau
dan aku, yang tak terpisahkan lagi, 'kan bersatu dalam kenikmatan puncak
Bercanda
ria serta bebas dari percakapan dungu, kau dan aku
Burung-burrung
yang terbang di langit 'kan menatap iri
Karena
kita tertawa riang gembira, kau dan aku
Sungguh
ajaib, kau dan aku
Duduk
di sudut yang sama di sini
pada
saat yang sama berada di Irak dan Khurasan
Kau
dan aku.[7]
Dalam
syair diatas Maulana Rumi memberikan gambaran dari pengalaman religiusnya
tentang penyatuan dua insan yang terejawantahkan dalam proses
pernikahan. Sebuah penyatuan agung antara dua raga menjadi satu kesatuan jiwa.
Dalam penggambarannya tersebut, nampak Maulana begitu merasakan betapa indahnya
sebuah pernikahan, peristiwa penyatuan antara dirinya dengan diri yang lain
demi mencapai puncak kenikmatan yang sejati. Dari balik indahnya syair yang
digubah Maulana diatas, nampaknya Rumi hendak menyampaikan pesan kepada kita
bahwa pernikahan adalah satu-satunya jalan suci yang mampu mengantarkan manusia
untuk bersatu dengan kekasihnya. Terlepas dari pengertian syair tersebut diatas
secara etimologi, bagi kaum sufi pernikahan/penyatuan yang hakiki adalah bersatunya
diri seorang hamba dengan Tuhannya.
Dalam
upaya mewujudkan kemashlahatan bagi setiap manusia dalam menjaga keseimbangan
dalam kehidupan di dunia. Rumi telah melakukan revolusi besar dalam memahami
sekaligus memaknai pesan-pesan profetik kedalam bentuk syair maupun prosa (yang
ia kemas baik dalam bentuk ghazal maupun ruba’i). Tak ayal jika
sampai saat ini syair-syair tersebut tak pernah mati, bahkan terus mengundang
perhatian para pemikir modern yang secara koheren terus melakukan upaya-upaya
empiris-kognitif guna mengungkap apa yang tersembunyi darinya(Rumi).
[1] Muhammad
Muhibbudin, Kitab Cinta Ulama Klasik, (Yogyakarta: Araska, 2018), hal.
4.
[2] Muhammad
Zaairul Haq, Jalaluddin Rumi Terbang Menuju Keabadian Cinta Hingga Makna di
Balik Kisah, (Yogyakarta: Kreasi Wacana), 2011, hal. 6.
[3] Muhammad
Zaairul Haq, Jalaluddin Rumi Terbang Menuju Keabadian Cinta Hingga Makna di
Balik Kisah, (Yogyakarta: Kreasi Wacana), 2011, hal. 7-8.
[4] Miswari,
Senandung Cinta Penuh Makna: Analisa Filosofis Puisi Jalaluddin Rumi, Jurnal
Al-Mabhats Jurnal Penelitian Sosial Agama, Vol. 3 No. 1 tahun 2018, hal.
35.
[5] Murtadho
Muthahhari, Ali bin Abi Thalib dihadapan Kawan dan Lawan, (Jakarta: Yapi,
1987), hal. 39.
[6] Miswari,
Senandung Cinta Penuh Makna: Analisa Filosofis Puisi Jalaluddin Rumi, Jurnal
Al-Mabhats Jurnal Penelitian Sosial Agama, Vol. 3 No. 1 tahun 2018, hal.
33.
[7] Miswari,
Senandung Cinta Penuh Makna: Analisa Filosofis Puisi Jalaluddin Rumi, Jurnal
Al-Mabhats Jurnal Penelitian Sosial Agama, Vol. 3 No. 1 tahun 2018, hal. 30