Minggu, 03 November 2019

MENGUNGKAP YANG TERSEMBUNYI


MENGUNGKAP YANG TERSEMBUNYI
Oleh : Muhammad Chandra

Cinta, menurut Jalaluddin ar-Rumi, merupakan cahaya kehidupan dan nilai kemanusiaan. Sesungguhnya cinta itu kekal; jadi harus diberikan kepada yang kekal pula. Ia tidak pantas diberikan kepada yang ditakdirkan fana’

Pemikiran Rumi yang ia tuangkan dalam tulisan-tulisannya –baik yang ditulisnya secara pribadi maupun yang lahir berkat bantuan para muridnya-  merupakan gambaran pengalaman mistik pribadi yang ia dapatkan semasa hidupnya. Akan tetapi berbeda dengan pemikir-pemikir lain, apa yang ditulis oleh Rumi kemudian berhasil terangkat ke tingkat yang lebih tinggi(spiritual). Pemikiran Rumi, jika diamati akan mendatangkan kesan bagi pembacanya seakan sedang menyusuri rimbanya hutan yang ditumbuhi banyak pepohonan, dimana terkadang pada satu sisi saling terhubung antar satu pohon dengan pohon lainnya, di sisi lain pohon-pohon tersebut berdiri kokoh dengan sendirinya.

Dalam pengantar buku Kitab Cinta Ulama Klasik karya Muhammad Muhibbudin ditulis disitu bahwa menurut Jalaluddin Rumi cintalah yang merubah segalanya. Orang yang kuat perkasa menjadi tak berdaya karena cinta; orang yang lemah tak berdaya menjadi semangat bertenaga karena cinta; dan orang bisa menangis karena cinta, orang bisa tertawa dan senyum juga karena cinta. Energi cinta sedemikian dahsyatnya dalam merubah dan memengaruhi kehidupan. Cinta adalah sayap yang sanggup menerbangkan manusia yang membawa beban berat ke angkasa raya, dan dari kedalaman lautan, cinta mampu mengangkat beban itu ke ketinggian angkasa.[1]
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Maulana Jalaluddin Rumi merupakan tokoh sufi terkemuka dunia. Dalam posisinya sebagai seorang tokoh sufi dunia, Rumi kian menarik perhatian para sarjana dalam meneliti dan memahami maksud dari pemikiran-pemikirannya yang ia tuangkan dalam karya-karyanya sehingga banyak dari karya-karyanya tersebut yang dijadikan objek kajian oleh para pemikir kontemporer. Terutama kisah-kisah yang disampaikannya yang tak lepas dari ajaran-ajaran Islam baik yang terkandung dalam Al-Qur’an, Hadits, maupun kisah-kisah yang dilahirkan sejarah dari kejadia-kejadian terdahulu yang mengandung banyak nilai-nilai filosifis-spiritual. Tak berlebihan kiranya jika salah satu karya Rumi yang berjudul Matsnawi hingga saat ini disanjung dan diakui banyak kalangan sebagai salah satu puisi sufi teragung di sepanjang sejarah Islam, bahkan mungkin salah satu puisi mistik besar dalam sejarah peradaban dunia.

Maulana Jalaluddin Rumi merupakan sosok seorang yang sufi yang sangat menjaga diri dalam melawan godaan nafsu duniawi yang senantiasa menggoda kemurnian jiwa. Sebagaimana dikisahkan oleh anaknya, Sultan Walad, bahwa Rumi adalah senantiasa mengabaikan segala bentuk kenyamana materi dan menekan hasratnya akan segala unsur kenikmatan duniawi. Ketika Sultan Walad menanyakan Rumi perihal kewaspadaanya terhadap segala keinginan dan hasrat jasmani, Rumi menjawab “nafsu adalah penipu yang hebat, dan orang-orang harus selalu waspada agar setan tidak menguasai dirinya”. Nampaknya Rumi ingin menyampaikan maksud bahwa kehidupan di dunia ini sepenuhnya adalah sesuatu yang fana dan ia mengajak siapapun untuk dapat menanggulangi godaan nafsu yang terus berusaha merusak kehidupan mannusia baik dari dalam maupun dari luar diri manuisa itu sendiri, sebab raga atau jism yang tampak dari seseorang hanyalah kendaraan bagi ruh untuk menjalankan pengembaraan spiritual. Oleh karenanya apabila raga telah dirusak oleh hasrat terhadap ke-fana-an materi, maka sulit baginya untuk dapat menyingkap Realitas yang sebenarnya(kasyf).

Dalam salah satu puisinya, Rumi mengajak manusia untuk tidak mudah dikendalikan oleh nafsunya.
Tariklah tali benang nafsu tak terkendali keras-keras
Waspadalah dengan jebakan dari bunga dunia yang tak beriman
Jangan mempercayai baju sucinya
Atau untaian tasbih yang panjang jangan sekali-kali menyatukan dirimu dengannya
Atau berkuda bersama-sama dengannya[2]

Dari penggalan puisi tersebut, Rumi mengajak manusia untuk terus waspada terhadap nafsu dengan menjaga diri sekuat tenaga untuk tidak mengikuti keinginan nafsu. Bagi Rumi, nafsu tak ayalnya sebuah jebakan yang nampak dari luar bagaikan bunga elok. Akan tetapi di dalamnya membawa banyak racun yang senantiasa menghancurkan jiwa-jiwa yang lemah.

Puisi-puisi yang digubah oleh rumi dalam berbagai kesempatan merupakan buah kesucian jiwanya, oleh karenanya puisi-puisi tersebut muncul dengan sendirinya dari lisan Maulana (bil bidahah).
Demi Tuhan, saya tidak peduli pada puisi, dan di mataku tak ada yang lebih buruk daripada itu. Puisi menjadi hambatan bagiku, seperti orang tak sengaja menyentuhkan tangannya kepada babat dan membasuhnya demi selera makan tamunya. Karena selera tamu itu terarah ke babat itu.”

Annemarie Schimmel mengatakan bahwa di awal ungkapan itu Rumi menyatakan bahwa ia menyampaikan puisi pada saat diilhami oleh sahabat mistisnya(Tuhan) (Schimmel:2005). Itulah kiranya yang membedakan dalam proses melahirkan sebuah syair antara Rumi dengan penyair-penyair lainnya.

Jika dilihat secara dhahir, syair-syair Rumi hampir seluruhnya berbicara soal cinta dan upaya pemurnian jiwa. Kendati demikian apa yang disampaikan Rumi diyakini oleh para peneliti sebagai ‘puisi mistik terkemuka’ sepanjang sejarah umat manusia.

Rumi bercerita bahwa pernah ada seorang sufi bertanya kepada seorang pria kaya. “mana yang lebih kai cintai, dosa atau kekayaan?” pria itu menjawab bahwa dia lebih mencintai kekayaan. Sang sufi lalu berkata “yang kau katakana itu tidak benar, sebab kau akan meninggalkan kekayaanmu dan akan tetap membawa serta semua perbuatanmu”. Lanjutnya “laksanakanlah sesuatu agar kau bias membawa apa yang paling kau cintai (yaitu kekayaan), dengan membelanjakannya di jalan yang baik dan untuk bersedekah, dan dengan demikian kau bias menyerahkan kekayaanmu kepada Allah sebelum kau dating menghadap Allah, sebab hal itu telah ditulis dalam Al-Qur’an. Dan apa pun yang kau serahkan sebelum kau datang sendiri akan diterima oleh Tuhanmu, itulah pahala yang paling baik dan paling besar”[3]

Jika kita sepakat untuk mengasumsikan bahwa kebutuhan terkait pemeliharaan harta materi merupakan bagian dari kebutuhan tahsiny yaitu kebutuhan yang dituntut oleh harga diri norma dan tatanan hidup dan berhubungan dengan kebutuhan keindahan tampilan diri manusia seperti pemenuhan pakaian, kendaraan dan makanan tambahan, maka apa yang disampaikan Rumi melalui syair-syairnya telah memperingati manusia sekaligus mengajarkan tentang bagaimana seharusnya seseorang mengontrol keinginan-keingina terhadap materi tersebut agar tidak terjerumus kedalam lubang ketamakan terhadap harta.

Perhatian Rumi terhadap jiwa juga amatlah besar. Jiwa adalah wujud rohani (Hadi, 1985: 42). Bahwa alam materi, harta, kesenang-senangan duniawi bukanlah tempat sejati baginya. Jiwa harus keluar dari keterlenaan duniawi untuk membumbung ke alam ruhani. Tempat ideal dan sejati bagi jiwa.[4] Untuk menjaga keharmonisan yang berlangusng di dalam jiwa seseorang, maka orang tersebut perlu memperhatikan berbagai unsur yang dapat merusaknya, dalam banyak kesempatan Rumi menyampaikan bahwa faktor tersebar yang paling berpengaruh dalam rusaknya jiwa seseorang ialah segala bentuk material-duniawi. Iakatan antara seseorang dengan materi tersebutlah yang akan menghantarkan orang tersebut pada kemafsadatan dirinya sendiri.

Maulana Rumi melihat bahwa manusia terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan, yaitu tubuh, nafsu, dan jiwa/hati. Bagi Rumi, tubuh hanyalah kulit/selimut yang membungkus ruh. Rumi tidak begitu menyoal dalam pandangannya tentang tubuh karena ia melihat adanya komponen primordial yang lebih besar dampaknya bagi diri manusia yaitu hati. Sama seperti tokoh-tokoh sufi lainnya, konsentrasi Rumi banyak dicurahkan dalam pembahasan mengenai persoalan menjaga kesucian hati dan melawan godaan nafsu. Rumi menggambarkan nafsu diantaranya sebagai berikut:
“bila nafsu berkata meong seperti kucing, kutaruh nafsu itu di dalam tas bagaikan kucing”

Komponen ketiga yaitu hati. Maulana menggambarkan hati sebagai lilin yang menyala dengan api Ilahi atau jendela menuju Tuhan dan Nabi Muhammad SAW adalah jiwanya jiwa.[5] Kompnen berikutnya adalah akal, yang mana Maulana membagi akal kedalam dua bagian mencakup akal universal dan akal parsial.

            Rumi tidak hanya terkenal sebab syair-syair sufistiknya yang indah dan mampu menggugah jiwa, lebih dari itu yang menjadikannya tetap abadi sampai sekarang ini ialah pengalaman irfani nya yang telah ‘terbang terlebih dahulu menuju pintu-pintu langit’. Kendati demikian, Rumi tetap menjaga aspek ‘fungsi’ sebagai alat yang paling berpengaruh bagi diri seseorang dalam bertindak laku serta memahami segala bentuk realitas kehidupan di dunia. Sebagaimana dijelaskan Miswari, tidak perlu eksplorasi epistemologis yang terlalu jauh dan berbelit-belit. Tuhan tidak berjarak dari diri. Indra dan penalaran harus dihentikan. Itulah jalan mengenal Tuhan.[6] Bahkan lebih lanjut lagi Miswari menyatakan sebagian filosof sejatinya terlalu berlebihan dalam mengeksplorasi akal(berfilsafat) terhadap pemahaman mereka tentang Tuhan dan tanpa mereka sadari semangat teologis-eksploratif tersebut tidak lain adalah bentuk penguasaan nafsu yang mengendalikan mereka.

Dalam menempuh jalan cinta maka seseorang perlu menundukkan nalarnya. Bahwa perihal Sang Mutlak adalah hal yang berda jauh di atas nalar makhluk manapun. Sebagaimana bunyi hadits “tafakkaru fi khalqillah wa la tafakkaru fi dzatillah”. Sejauh apapun Maulana menyampaikan pengalaman spiritualnya, ia senantiasa menjaga dan menempatkan akal di bawah ‘Esensi’. Hal yang dilakukan Rumi tersebut kiranya bertujuan guna menjaga keberlangsungan fungsi akal agar tetap berada pada porosnya sehingga tidak mendatangkan kerusakan baik bagi diri seseorang maupun bagi akal/nalar itu sendiri. Al-Qur’an telah memberikan berbagai per-mitsal-an dalam hal seperti ini, kisah Musa yang membelah lautan, Ibrahim yang terjaga ditengah di tengah kobaran api, Yunus yang mampu bertahan hidup di daam perut ikan yang melahapnya, Muhammad SAW yang mampu membelah bulan serta kisah isra’ mi’rajnya, yang seluruhnya termaktub dalam teks suci Agama memberikan penegasan yang begitu besar akan kedigdayaan kuasa cinta yang jauh meninggalkan nalar. Sebaliknya, upaya-upaya penalaran terhadap hal-hal seperti contoh yang dijelaskan sebelumnya justru hanya akan mendatangkan kerusakan penalaran/akal itu sendiri.

Bagi kaum sufi, termasuk Maulana Rumi, ‘kesatuan’ adalah tujuan akhir dari perjalan panjang yang mereka tempuh. Sebagai seorang makhluk yang sejatinya diciptakan berpasang-pasangan Rumi tidak menafikkan hal tersebut. Dalam kehidupannya ia menikah dengan seorang wanita  dan juga dikarunia dua orang anak. pernikahan yang pada umumnya diartikan sebagai bertemunya dua orang manusia (pria-wanita) sesuai dengan naluri ke-manusia-an nya, kaum sufi, sebagaimana Maulana Rumi memaknai sebuha pernikaha  sebagai lambang yang menggetarkan jiwa, karena pernikahan tersebut merupakan simbol penyatuan sejati.
Tentang pernikahan Jalaluddin Rumi menggubah sajak yang indah:
Betapa bahagia saat kita duduk di istana, kau dan aku
Dua sosok dan dua tubuh namun hanya satu jiwa, kau dan aku
Harum semak dan senandung burung 'kan menebarkan pesona
pada saat kita memasuki taman, kau dan aku
Bintang-bintang nan beredar kan sengaja menatap kita lama-lama:
bagi mereka, kita kan menjadi bulan, kau dan aku
Kau dan aku, yang tak terpisahkan lagi, 'kan bersatu dalam kenikmatan puncak

Bercanda ria serta bebas dari percakapan dungu, kau dan aku
Burung-burrung yang terbang di langit 'kan menatap iri
Karena kita tertawa riang gembira, kau dan aku
Sungguh ajaib, kau dan aku
Duduk di sudut yang sama di sini
pada saat yang sama berada di Irak dan Khurasan
Kau dan aku.[7]

Dalam syair diatas Maulana Rumi memberikan gambaran dari pengalaman religiusnya tentang penyatuan dua insan yang terejawantahkan dalam proses pernikahan. Sebuah penyatuan agung antara dua raga menjadi satu kesatuan jiwa. Dalam penggambarannya tersebut, nampak Maulana begitu merasakan betapa indahnya sebuah pernikahan, peristiwa penyatuan antara dirinya dengan diri yang lain demi mencapai puncak kenikmatan yang sejati. Dari balik indahnya syair yang digubah Maulana diatas, nampaknya Rumi hendak menyampaikan pesan kepada kita bahwa pernikahan adalah satu-satunya jalan suci yang mampu mengantarkan manusia untuk bersatu dengan kekasihnya. Terlepas dari pengertian syair tersebut diatas secara etimologi, bagi kaum sufi pernikahan/penyatuan yang hakiki adalah bersatunya diri seorang hamba dengan Tuhannya.

Dalam upaya mewujudkan kemashlahatan bagi setiap manusia dalam menjaga keseimbangan dalam kehidupan di dunia. Rumi telah melakukan revolusi besar dalam memahami sekaligus memaknai pesan-pesan profetik kedalam bentuk syair maupun prosa (yang ia kemas baik dalam bentuk ghazal maupun ruba’i). Tak ayal jika sampai saat ini syair-syair tersebut tak pernah mati, bahkan terus mengundang perhatian para pemikir modern yang secara koheren terus melakukan upaya-upaya empiris-kognitif guna mengungkap apa yang tersembunyi darinya(Rumi).



[1] Muhammad Muhibbudin, Kitab Cinta Ulama Klasik, (Yogyakarta: Araska, 2018), hal. 4.
[2] Muhammad Zaairul Haq, Jalaluddin Rumi Terbang Menuju Keabadian Cinta Hingga Makna di Balik Kisah, (Yogyakarta: Kreasi Wacana), 2011, hal. 6.
[3] Muhammad Zaairul Haq, Jalaluddin Rumi Terbang Menuju Keabadian Cinta Hingga Makna di Balik Kisah, (Yogyakarta: Kreasi Wacana), 2011, hal. 7-8.
[4] Miswari, Senandung Cinta Penuh Makna: Analisa Filosofis Puisi Jalaluddin Rumi, Jurnal Al-Mabhats Jurnal Penelitian Sosial Agama, Vol. 3 No. 1 tahun 2018, hal. 35.
[5] Murtadho Muthahhari, Ali bin Abi Thalib dihadapan Kawan dan Lawan, (Jakarta: Yapi, 1987), hal. 39.
[6] Miswari, Senandung Cinta Penuh Makna: Analisa Filosofis Puisi Jalaluddin Rumi, Jurnal Al-Mabhats Jurnal Penelitian Sosial Agama, Vol. 3 No. 1 tahun 2018, hal. 33.
[7] Miswari, Senandung Cinta Penuh Makna: Analisa Filosofis Puisi Jalaluddin Rumi, Jurnal Al-Mabhats Jurnal Penelitian Sosial Agama, Vol. 3 No. 1 tahun 2018, hal. 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MASIHKAH KITA?
Sesore ini, Sedang hujan kian membasahi Di sela-sela bale bambu depan rumahku Kuselipkan sepilihan rindu Sambil terus bermunajat Pada semesta sore yang menjadi waktu paling romantis?
MENGUNGKAP YANG TERSEMBUNYI
Cinta, menurut Jalaluddin ar-Rumi, merupakan cahaya kehidupan dan nilai kemanusiaan. Sesungguhnya cinta itu kekal; jadi harus diberikan kepada yang kekal pula. Ia tidak pantas diberikan kepada yang ditakdirkan fana’
SEBELUM KUPERGI BERLADANG
Sama seperti kemarin, aku berdo’a sebelum beranjak menuju ladang kopiku yang juga merupakan warisan orang tuaku. Di sela do’aku, Amad; begitu aku memanggil anakku; datang menghampiriku dengan membawa setoples emping dan secangkir kopi khas racikan keluarga. “Bah, ini kubuatkan kopi untuk abah...spesial dari anak abah tercinta”, ujarnya sambil menaruh secangkir kopi hangat di hadapanku.