Minggu, 21 Maret 2021

Memperkarakan Yang (Tak) Penting

Menurutmu, mana yang harus didahulukan ; melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi (sebut saja pasca sarjana), atau meminang seorang wanita untuk kita jadikan teman sejati (sebut saja istri) ?.


Mungkin bagi sebagian orang yang usianya sudah menginjak seperempat abad, pertimbangan terhadap dua hal tersebut bukanlah hal yang rumit untuk diputuskan. Mungkin bagi sebagian yang lain, dua hal itu bukanlah perkara yang krusial untuk dijadikan fokus pikiran dalam dirinya. Tapi, bagi bebrapa yang lain bahwa pergolakan pemikiran untuk mengambil keputusan antara dua hal tersebut menjadi suatu hal yang tak mudah dicari jawabannya. Dalam setiap masing-masingnya, terdapat alasan yang cukup kuat.


Bagi orang dalam kelompok jenis yang pertama misalnya, bukan perkara yang sulit untuk menentukan pilihan antara melanjutnya studinya atau menikah dengan seorang gadis idamannya. Kelompok jenis pertama ini biasanya mereka yang sudah memiliki kecukupan materiil, atau bisa dikatakan sudah mandiri secara finansial, dalam artian mereka sudah tidak lagi dibebankan oleh bayangan-bayangan akan belenggu beban finansial yang kelak akan dilewatinya manakala hendak melanjutkan studinya atau memilih untuk berumah tangga. Atau bahkan, mereka dapat mengambil dua pilihan tersebut dalam waktu yang bersamaan (berdekatan) jika mereka mau.


Bagi mereka yang berada dalam kelompok jenis yang kedua, baik menikah ataupun sekolah, kedua-duanya bukanlah hal yang perlu untuk dipirkan terlalu dalam. Sebab mereka pada saat ini sedang mengusahakan tercapainya suatu tujuan lain di luar persoalan pernikahan ataupun pendidikan. Mereka yang berada pada kelompok ini akan cenderung mempusatkan fokus pikiran dan usaha mereka pada hal-hal yang dinilai dapat meningkatkan kualitas kehidupan secara finansial, karena bagaimanapun, baik untuk melanjutkan studi ataupun mengadakan sebuah resepsi pernikahan, sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa kedua-duanya menghajatkan pemenuhan biaya baik sebelum maupun sesudahnya. Kelompok ini merupakan kelompok yang berpegang pada prinsip, besar pasak tidak boleh melebihi tiang.


Lain halnya dengan mereka yang berada dalam kelompok jenis ketiga. Banyak faktor yang menyebabkan mereka sampai pada ke titik di mana mereka merasa sulit untuk menentuan skala prioritas antara kedua pilihan tersebut. Mulai dari faktor ekonomi; di mana situasi finansial mereka belum berada pada zona hijau, acapkali nilai kebutuhan sehari-hari lebih besar daripada nilai penghasilan yang mampu mereka peroleh. Atau faktor sosial-budaya; misal, dorongan keluarga yang menuntutnya untuk segera menikah, di sisi lain, yang dibutuhkannya ialah melanjutan sekolah. Atau juga tekanan sosial yang diperolehnya dari satire-satire (yang seringkali dianggap sepele) seperti : “temen lo udah pada nikah tuh, lo kapan, emang lo gak mau?”, “ayahmu aja bisa lulus S3, masa anaknya cuma S1” atau bentuk-bentuk ucapan lainnya yang baik secara langsung maupun tidak, memberikan dampak psikologis yang buruk terhadap psikologi seseorang. Mereka yang berada pada kelompok ini bukannya tidak ingin untuk mengambil keputusan dengan cepat, layaknya Bandung Bondhowoso yang berhasil membangun seribu candi dalam waktu satu malam. Akan tetapi karena keterbatasan mereka dalam beberapa hal/aspek – aspek finansial hanya satu di antaranya – mereka merasa perlu untuk benar-benar menganalisis resiko sekaligus mempertimbangkan kemungkinan terburuk dari langkah yang hendak mereka tentukan.


Bagaimanapun, keputusan harus tetap diambil. Terlepas dari begitu banyaknya faktor yang mempengaruhi setiap orang dalam pengambilan keputusan tersebut, keputusan harus tetap diambil dengan selalu menekankan prinsip kewaspadaan. Sejalan dengan nasihat bijak leluhur kita “eling lan waspodo. Ben slamet uripmu, lan ayem atimu(-penulis)”


Wedjangan Jahe

Ds. Pangkat, 22 03 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MASIHKAH KITA?
Sesore ini, Sedang hujan kian membasahi Di sela-sela bale bambu depan rumahku Kuselipkan sepilihan rindu Sambil terus bermunajat Pada semesta sore yang menjadi waktu paling romantis?
MENGUNGKAP YANG TERSEMBUNYI
Cinta, menurut Jalaluddin ar-Rumi, merupakan cahaya kehidupan dan nilai kemanusiaan. Sesungguhnya cinta itu kekal; jadi harus diberikan kepada yang kekal pula. Ia tidak pantas diberikan kepada yang ditakdirkan fana’
SEBELUM KUPERGI BERLADANG
Sama seperti kemarin, aku berdo’a sebelum beranjak menuju ladang kopiku yang juga merupakan warisan orang tuaku. Di sela do’aku, Amad; begitu aku memanggil anakku; datang menghampiriku dengan membawa setoples emping dan secangkir kopi khas racikan keluarga. “Bah, ini kubuatkan kopi untuk abah...spesial dari anak abah tercinta”, ujarnya sambil menaruh secangkir kopi hangat di hadapanku.