Mungkin
bagi sebagian orang yang usianya sudah menginjak seperempat abad, pertimbangan
terhadap dua hal tersebut bukanlah hal yang rumit untuk diputuskan. Mungkin
bagi sebagian yang lain, dua hal itu bukanlah perkara yang krusial untuk
dijadikan fokus pikiran dalam dirinya. Tapi, bagi bebrapa yang lain bahwa
pergolakan pemikiran untuk mengambil keputusan antara dua hal tersebut menjadi
suatu hal yang tak mudah dicari jawabannya. Dalam setiap masing-masingnya,
terdapat alasan yang cukup kuat.
Bagi
orang dalam kelompok jenis yang pertama misalnya, bukan perkara yang sulit
untuk menentukan pilihan antara melanjutnya studinya atau menikah dengan
seorang gadis idamannya. Kelompok jenis pertama ini biasanya mereka yang sudah
memiliki kecukupan materiil, atau bisa dikatakan sudah mandiri secara
finansial, dalam artian mereka sudah tidak lagi dibebankan oleh
bayangan-bayangan akan belenggu beban finansial yang kelak akan dilewatinya
manakala hendak melanjutkan studinya atau memilih untuk berumah tangga. Atau
bahkan, mereka dapat mengambil dua pilihan tersebut dalam waktu yang bersamaan
(berdekatan) jika mereka mau.
Bagi
mereka yang berada dalam kelompok jenis yang kedua, baik menikah ataupun
sekolah, kedua-duanya bukanlah hal yang perlu untuk dipirkan terlalu dalam.
Sebab mereka pada saat ini sedang mengusahakan tercapainya suatu tujuan lain di
luar persoalan pernikahan ataupun pendidikan. Mereka yang berada pada kelompok
ini akan cenderung mempusatkan fokus pikiran dan usaha mereka pada hal-hal yang
dinilai dapat meningkatkan kualitas kehidupan secara finansial, karena
bagaimanapun, baik untuk melanjutkan studi ataupun mengadakan sebuah resepsi
pernikahan, sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa kedua-duanya menghajatkan
pemenuhan biaya baik sebelum maupun sesudahnya. Kelompok ini merupakan kelompok
yang berpegang pada prinsip, besar pasak tidak boleh melebihi tiang.
Lain
halnya dengan mereka yang berada dalam kelompok jenis ketiga. Banyak faktor
yang menyebabkan mereka sampai pada ke titik di mana mereka merasa sulit untuk
menentuan skala prioritas antara kedua pilihan tersebut. Mulai dari faktor
ekonomi; di mana situasi finansial mereka belum berada pada zona hijau,
acapkali nilai kebutuhan sehari-hari lebih besar daripada nilai penghasilan
yang mampu mereka peroleh. Atau faktor sosial-budaya; misal, dorongan keluarga
yang menuntutnya untuk segera menikah, di sisi lain, yang dibutuhkannya ialah
melanjutan sekolah. Atau juga tekanan sosial yang diperolehnya dari
satire-satire (yang seringkali dianggap sepele) seperti : “temen lo udah
pada nikah tuh, lo kapan, emang lo gak mau?”, “ayahmu aja bisa lulus S3, masa
anaknya cuma S1” atau bentuk-bentuk ucapan lainnya yang baik secara
langsung maupun tidak, memberikan dampak psikologis yang buruk terhadap
psikologi seseorang. Mereka yang berada pada kelompok ini bukannya tidak ingin
untuk mengambil keputusan dengan cepat, layaknya Bandung Bondhowoso yang
berhasil membangun seribu candi dalam waktu satu malam. Akan tetapi karena
keterbatasan mereka dalam beberapa hal/aspek – aspek finansial hanya satu di
antaranya – mereka merasa perlu untuk benar-benar menganalisis resiko sekaligus
mempertimbangkan kemungkinan terburuk dari langkah yang hendak mereka tentukan.
Bagaimanapun,
keputusan harus tetap diambil. Terlepas dari begitu banyaknya faktor yang
mempengaruhi setiap orang dalam pengambilan keputusan tersebut, keputusan harus
tetap diambil dengan selalu menekankan prinsip kewaspadaan. Sejalan dengan
nasihat bijak leluhur kita “eling lan waspodo. Ben slamet uripmu, lan
ayem atimu(-penulis)”
Wedjangan Jahe
Ds. Pangkat, 22 03 2020