مَقْصُوْدُ
الشَّرْعِيِّ فِي بِدَاهَةِ الرُّوْمِي
(Maqāṣid Syarī‘ah dalam
Bidahah (Pemikiran) Maulana Rumi)
Oleh : Muhammad Chandra
Tulisan ini akan saya buka
dengan mengemukakan fakta bahwa Islam adalah agama bagi sekitar seperempat
populasi umat manusia di dunia. Umat Muslim tumbuh dari kelompok kecil di Mekah
pada awal abad ke-7 M hingga berdiri sebagai “Negara Islam” yang mengalahkan
Kekaisaran Romawi dan Persia pada akhir abad itu juga. Islam kemudian menjadi
agama bagi kebudayaan dan peradaban yang beraneka ragam di sepanjang Abad
Pertengahan.[1]
Kemapanan kebudayaan yang
diraih oleh Islam selama berabad-abad tak lepas
dari peran penting para Ulama serta cendikiawan muslim yang senantiasa
menjaga nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam nash-nash syariah
yang darinya melahirkan jawaban-jawaban atas persoalan yang timbul di tengah
kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat muslim itu sendiri. Namun demikian,
kiranya para ulama serta cendikiawan muslim itu pun menyadari bahwa terdapat
persoalan-persoalan lain, di luar persoalan hukum Agama(Fiqh) yang juga
perlu disoroti secara mendalam guna membasuh kekeringan serta memenuhi dahaga
manusia yang mana tidak dapat dicarikan solusinya di dalam Fiqh.
Tidak berlebihan kiranya jika
dikatakan bahwa umat Muslim saat ini sedang mengalamai degradasi moral yang
banyak dipengaruhi oleh terbukanya dunia informasi yang semakin radikal yang
mana tidak hanya menyerang dan mempengaruhi pola kehidupan umat tetapi juga
menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya berbagai penyimpangan sosial.
Perlu kiranya menghadirkan sebuah nilai serta metode baru dalam menghayati
ajaran-ajaran agama yang mampu mereka serap bukan hanya sampai pada tingkatan
akal semata tetapi juga mampu merasuki bagian paling intim dari diri mereka,
yaitu hati nurani(intuisi), agar kemudian nilai tersebut dapat mengarahkan
setiap tingkah laku yang dikerjakan dapat terus sejalan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan yang terpenting ialah tidak bertentangan dengan tujuan agama Islam
itu sendiri.
Ulama Maqāṣidiyyun sepakat akan adanya maksud dan tujuan di balik setiap ketentuan
Syarī’ah. Betapapun mereka berbeda
dalam menguraikan makna Maqāṣid Syarī‘ah ,
semuanya menuju satu muara, yakni terciptanya kemaslahatan dan hilangnya kemafsadatan.
Menurut Abu Ishâq al-Syathibi maslahat adalah memelihara lima aspek pokok,
yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Maulana Jalaluddin Rumi, yang
akrab di telinga kita dengan sebutan “Rumi” merupakan salah satu grand
master dalam dunia tasawuf, kredibilitas serta otoritasnya dalam dunia Tasawuf
sudah tidak diragukan lagi, hal itu dibuktikan dengan masih banyaknya kajian
serta penelitian yang sampai saat ini dilakukan guna memahami maksud dan inti
pembahasan yang tertuang dalam karyanya. Tak heran jika karyanya yang berjudul
“Matsnawi” disebut-sebut sebagai “kitab sucinya orang persia setelah
Al-Qur’an” sebab tulisan tersebut ditulis oleh Rumi dalam bahasa Persia, yang
merupakan bahasa atas kebangsaan Rumi itu sendiri – walaupun dalam beberapa literatur
disebutkan bahwa kebangsaan Rumi adalah Turki, karena di sanalah ia tumbuh
besar dan dimakamkan.
Tasawuf sendiri sebenarnya
mengarahkan seseorang untuk bersikap progresif, aktif, dan produktif sebagai
akibat dari pencerahan spiritualnya melalui aplikasi tasawuf praktis. Tidaklah
tepat dikatakan bahwa tasawuf sebagai antikemodernan, penghambat kreativitas,
dan penghalang kemajuan.[2] Dan sufisme sendiri merupakan bagian dari Syarī‘ah
Islamiyah, yakni wujud dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran
Islam. Dua sebelumnya ialah Iman dan Islam. Oleh karena itu
perilaku sufi harus tetap berada dalam kerangka Syarī‘ah Islam.[3] Dalam penjelasan ini, kita dapati adanya
pergeseran point of view dalam pemahanan terhadap ajaran Tasawuf dari
pemahaman yang kental akan ciri konservatif-individualis menuju pemahanan yang
progresif-sosialis.
Kita bisa melihat keseriusan
Maulana Rumi dalam menyoroti aspek pengembangan kualitas manusia dari apa yang
telah ditulisnya baik pada Matsnawi, Fihi Ma Fihi, maupun karya lainnya
yang ia tulis dalam bentuk syair dan prosa. Dalam setiap karyanya, Maulana Rumi
mencoba menyebarkan pemikiran, gagasan, dan renungannya dalam untaian karangan
bersajak indah menggunakan bahasa figuratif sastra (majaz), metafora
(isti’aroh), tamsil, dan kias sehingga dapat memberikan pengaruh yang berbeda
bagi pembaca sesuai kecenderungan jiwa masing-masing pembacanya.
Maulana Rumi sepertinya tidak
meletakkan nilai-nilai Maqāṣid Syarī‘ah pada
ranah konseptual baik dalam karyanya yang berupa syair maupun dalam bentuk
prosa sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama lainnya, melainkan
menempatkannya pada tataran ranah filsafat yang terselubung di balik susunan
kata syair-syairnya. Dalam karya Rumi yang berjudul Fihi Ma Fihi dapat
kita temukan beberapa aspek yang - baik secara langsung maupun tidak -
menyinggung soal Maqāṣid Syarī‘ah, di
antaranya :
Mengenai pemeliharaan/penjagaan
Agama (Hifdz Din) yang oleh Eliwarti Maliki diterjemahkan menjadi haq
attadayyun (hak beragama) yaitu hak untuk beribadah dan menjalankan
ajaran-ajaran agama, Rumi menyebutkan istilah bagi seseorang yang menjaga agama dengan
istilah Saifuddin (Pedang
Agama).
“Pedang agama adalah ia yang berperang untuk
agama dan mempersembahkan segala usaha mereka kepada Allah semata. Dia yang
mengungkap kebenaran dari kesalahan serta membedakan antara yang hak dan yang
batil. Tapi sebelum itu, merekan akan mengoreksi diri dan memperbaiki etika
mereka sendiri: mulailah dari dirimu sendiri. Semua nasihat akan mereka arahkan
pada diri mereka sendiri.”[4]
Maulana Rumi menuliskan dalam
Fihi Ma Fihi tentang keberagaman agama. Lebih lanjut Rumi menjelaskan:
“Agama
tidak akan pernah menjadi satu. Selalu saja ada dua atau tiga agama, dan selalu
ada perang serta saling bunuh di antara mereka. Bagaimana bisa kamu
menginginkan hanay ada satu agama? Agama tidak akan pernah menjadi satu kecuali
di akhirat kelak, pada hari kiamat. Di dunia ini kemanunggalan agama adalah hal
yang mustahil, karena setiap orang memiliki tujuan dan keinginan yang berbeda
antara satu dengan yang lain”[5]
Sebagaimana kita ketahui
bersama bahwa dalam Islam Shalat adalah tiang Agama, ia adalah bentuk amaliyah
dzahir yang kewajibannya dikenakan kepada seluruh Muslim(Mukallaf) sebagai
bentuk penyerahan diri kepada Tuhan. Dan dalam ranah kehidupan sosial
msyarakat, shalat menjadi pembeda antara Muslim dengan umat beragama lainnya.
Shalat merupakan pondasi agama yang harus dijaga oleh setiap muslim. Bagi
Maulana Rumi, salat tidak hanya terbatas pada bentuk luarnya saja. Tetapi salat
juga merupakan bentuk pekerjaan hati: “tidak ada salat tanpa kehadiran hati.”
Meski pekerjaan hati itu penting, tapai kamu juga harus menghadirkan bentuknya
dengan melakukan rukuk dan sujud.[6]
Hak ini seharusnya diarahkan
untuk mencipta kualitas kehidupan yang lebih baik bagi diri dan masyarakat. Hak
hidup haris diorientasikan pada perbaikan kualitas kehidupan manusia seutuhnya,
bukan secara parsial.
Perhatian Rumi terhadap
pemeliharan jiwa juga amatlah besar. Eliwarti Maliki menyebut Hifdz Nafs sebagai
Hak Untuk Hidup, hak ini seharusnya diarahkan untuk mencipta kualitas kehidupan
yang lebih baik bagi diri dan masyarakat. Hak hidup haris diorientasikan pada
perbaikan kualitas kehidupan manusia seutuhnya, bukan secara parsial.
Jiwa
adalah wujud rohani (Hadi, 1985: 42). Bahwa alam materi, harta,
kesenang-senangan duniawi bukanlah tempat sejati baginya. Jiwa harus keluar
dari keterlenaan duniawi untuk membumbung ke alam ruhani. Tempat ideal dan
sejati bagi jiwa.[7] Untuk menjaga keharmonisan yang berlangusng di
dalam jiwa seseorang, maka orang tersebut perlu memperhatikan berbagai unsur
yang dapat merusaknya, dalam banyak kesempatan Rumi menyampaikan bahwa faktor
tersebar yang paling berpengaruh dalam rusaknya jiwa seseorang ialah segala
bentuk material-duniawi.
Maulana Rumi melihat bahwa manusia terdiri dari
beberapa komponen yang saling berkaitan, yaitu tubuh, nafsu, dan jiwa/hati.
Bagi Rumi, tubuh hanyalah kulit/selimut yang membungkus ruh. Rumi tidak begitu
menyoal dalam pandangannya tentang tubuh karena ia melihat adanya komponen
primordial yang lebih besar dampaknya bagi diri manusia yaitu hati. Sama
seperti tokoh-tokoh sufi lainnya, konsentrasi Rumi banyak dicurahkan dalam
pembahasan mengenai persoalan menjaga kesucian hati dan melawan godaan nafsu.
Rumi menggambarkan nafsu diantaranya sebagai berikut:
“bila
nafsu berkata meong seperti kucing, kutaruh nafsu itu di
dalam tas bagaikan kucing”[8]
Menurut Maulana Rumi setiap
orang memiliki sifat tamyiz pada diri masing-masing yang harus dijaga sekaligus
dibersihkan dari berbagai macam kepentingan. Tamyiz adalah sifat yang selalu
tersembunyi dalam jiwa manusia. Tamyiz adalah esensi murni yang terdapat di
dalam diri manusia dan merupakan esensi dari tubuh manusia itu sendiri, ia
berdiri di atas tubuh manusia. Pada hakikatnya, tubuh ini bergantung pada
esensi itu, tetapi esensu tidak bergantung pada tubuh.[9]
Maulana Rumi sangat memperhatikan keadaan jiwa
agar terhindar dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan manusia, diantaranya
yaitu tentang penjagaan jiwa terhadap sifat-sifat hewani yang seringkali
mengalahkan jiwa manusia. Maulana Rumi menjelaskan,
“sebenarnya
(jiwa) kalian itu memiliki makanan yang lain di samping makanan (materi berupa)
tidur dan makan. Di dunia yang rendah ini, kau telah melupakan makana lain itu karena sibuk dengan makanan materi.
Siang malam kamu beri makan tubuhmu. Sekarang tubuhmu seperti seekor kuda dan
dunia yang rendah ini menjadi kandangnya. Makanan kuda tentu tak akan menjadi
makanan penunggangnya. Karena sang penunggang memilik cara tidur, makan, dan
kebahagiaan yang berbeda. Karena sifat hewan dan binatang mengalahkan jiwamu,
maka tinggallah dirimu beserta kuda di kandangnya. Kau tak memiliki satu tempat
pun di barisan raja-raja dan pemimpin keabadiaan. Hatimu di sana, tetapi
tubuhmu mengalahkanmu, kamu tunduk pada aturannya dan masih menjadi tawanan
abadinya.”[10]
Terwujudnya
masyarakat yang manusiawi, adil, mandiri, baik dan bersih adalah merupakan
perwujudan dari prinsip Hifẓ al-Nafs dan Hifẓ al-‘Aql karena fitrah manusia terletak pada
optimalisasi kesadaran dalam jiwa dan akalnya. Tanggung jawab kekhalifahan yang
dibebankan Tuhan kepada manusia bertumpu pada jiwa dan akal.[11]
Berkenaan dengan Hifẓ al-Naṣl, kiranya
perlu kita lihat juga bahwa bagi kaum sufi, termasuk Maulana Rumi, ‘kesatuan’
adalah tujuan akhir dari perjalan panjang yang mereka tempuh. Sebagai seorang
makhluk yang sejatinya diciptakan berpasang-pasangan Rumi tidak menafikkan hal
tersebut. Dalam kehidupannya ia menikah dengan seorang wanita dan juga dikarunia dua orang anak, sebuah pernikahan
sebagaimana umumnya yang dapat diartikan sebagai bertemunya dua orang manusia
(pria-wanita) sesuai dengan naluri kemanusiaannya. Kaum sufi, termasuk juga
Maulana Rumi memaknai sebuah pernikahan sebagai lambang yang menggetarkan jiwa,
karena pernikahan tersebut merupakan simbol penyatuan sejati.
“Ketahuilah
bahwa mereka bagaikan pakaian bagimu, melalui mereka, kamu bisa menyucikan
dirimu.”[12]
Tentang pernikahan Jalaluddin
Rumi menggubah sajak yang indah:
“Betapa
bahagia saat kita duduk di istana, kau dan aku
Dua
sosok dan dua tubuh namun hanya satu jiwa, kau dan aku
Harum
semak dan senandung burung 'kan menebarkan pesona
pada
saat kita memasuki taman, kau dan aku
Bintang-bintang
nan beredar kan sengaja menatap kita lama-lama:
bagi
mereka, kita kan menjadi bulan, kau dan aku
Kau dan aku, yang tak terpisahkan lagi, 'kan
bersatu dalam kenikmatan puncak
Bercanda ria serta bebas dari percakapan dungu,
kau dan aku
Burung-burrung yang terbang di langit 'kan
menatap iri
Karena kita tertawa riang gembira, kau dan aku
Duduk di sudut yang sama di sini
pada saat yang sama berada di Irak dan Khurasan
Kau dan aku.”[13]
Dalam
syair diatas Maulana Rumi memberikan gambaran dari pengalaman religiusnya
tentang penyatuan dua insan yang terejawantahkan dalam proses
pernikahan. Sebuah penyatuan agung antara dua raga menjadi satu kesatuan jiwa.
Dalam penggambarannya tersebut, nampak Maulana begitu merasakan betapa indahnya
sebuah pernikahan, peristiwa penyatuan antara dirinya dengan diri yang lain
demi mencapai puncak kenikmatan yang sejati. Dari balik indahnya syair yang
digubah Maulana diatas, nampaknya Rumi hendak menyampaikan pesan kepada kita
bahwa pernikahan adalah satu-satunya jalan suci yang mampu mengantarkan manusia
untuk bersatu dengan kekasihnya. Bagi kaum sufi pernikahan/penyatuan yang
hakiki adalah bersatunya diri seorang hamba dengan Tuhannya.
Pasangan yang menikah
disatukan dalam perjanjian yang kokoh dengan akad nikah (mitsaaqan ghalidzan).
Hal ini merujuk pada bunyi ayat Al-Qur’an yang menyebutkan :
Pernikahan merupakan cara ataupun jalan yang
ditempuh untuk memperoleh keturunan serta melanjutkan kehidupan. Telah
dijelaskan sebelumnya bahwa Maulana Rumi sendiri telah melangsungkan pernikahan
sebanyak dua kali semasa hidupnya – yaitu dengan Mu’mine Khattun dan Jauhar
Khattun. Melalui pernikahanlah seorang manusia dapat memperbanyak keturunannya.
Melalui pernikahan pula proses kaderisasi umat dilangsungkan secara utuh dalam
sebuah rumah tangga yang kemudian menyokong berkembangnya proses pembentukan
sebuah kelompok masyarakat. Oleh karenanya, mewujudkan sebuah keluarga sakinah
dan menjaga keterbinaan anggota keluarga di dalam ajaran-ajaran Islam merupakan
aspek yang perlu diperhatikan oleh setiap individu guna terwujudnya kehidupan
sosial yang di ridhoi Allah.
Maulana Rumi
juga menjelaskan tentang bagaimana etika menjaga kehormatan seorang (mempelai)
perempuan yang harus dijaga dan dirahasiakan dari khalayak umum. Lebih lanjut
beliau menuliskan:
“ketika mempelai perempuan menampakkan diri di hadapan
kalian dan rahasia-rahasia mereka tersingkap, berhati-hatilah, jangan kamu
ceritakan ini pada orang asing, jangan kamu jelaskan apa yang kamu saksikan
pada orang lain. Jika seorang perempuan cantik dan layak dipuja menyerahkan
dirinya kepadamu secara pribadi di rumahmu, sembari berkata: “jangan tunjukkan
diriku pada orang lain, karena aku adalah milikmu” maka apakah oleh dan layak bagimu untuk
mempertontonkannya di pasar-pasar.”[14]
Bahwa untuk dapat memelihara
keturunan dalam sebuah hubungan kekeluargaan(rumah tangga), dipersyaratkan
adanya jalinan kasih sayang dan rasa cinta yang besar diantara dua insan. Dalam
hal keagungan cinta, terdapat salah satu syair Maulana Rumi :
“Cinta
membuat lautan mendidih seperti sebuah ceret
Cinta
meremukkan gunung seperti pasir
Cinta memecah
langit dengan seratus pecahan
Cinta
dengan tak bisa disadari membuat bumi bergetar.”[15]
Hifẓ al-Naṣl dalam interpretasi luas juga dapat dipahami
sebagai upaya menjaga persaudaraan, memperluas silaturahmi, serta membangun
kebersamaan sebagai ikhtiar dalam menjaga entitas dari kepunahan.[16]
Hifẓ al-Maal yang dapat diartikan sebagai sebuah upaya
menjaga segala kepemilikan terhadap materi(harta) dari unsur-unsur yang dapat
merusak harta itu sendiri merupakan keharusan yang perlu diperhatikan bagi si
pemilik harta dalam rangka menciptakan kemaslahatan dari segala sesuatu yang
keluar dari hartanya tersebut. Sejauh harta tersebut digunakan di jalan Allah, sejauh itu juga kebaikan yang akan
dihasilkan darinya. Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 92 :
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Rumi bercerita bahwa
pernah ada seorang sufi bertanya kepada seorang pria kaya. “mana yang lebih
kau cintai, dosa atau
kekayaan?” pria itu menjawab bahwa dia lebih mencintai
kekayaan. Sang sufi lalu berkata “yang kau katakana itu tidak benar, sebab
kau akan meninggalkan kekayaanmu dan akan tetap membawa serta semua perbuatanmu”.
Lanjutnya “laksanakanlah sesuatu agar kau bisa membawa apa yang
paling kau cintai (yaitu kekayaan), dengan membelanjakannya di jalan yang baik
dan untuk bersedekah, dan dengan demikian kau bisa menyerahkan kekayaanmu
kepada Allah sebelum kau datang menghadap Allah,
sebab hal itu telah ditulis dalam Al-Qur’an. Dan apa pun yang kau serahkan
sebelum kau datang sendiri akan diterima oleh Tuhanmu, itulah pahala yang
paling baik dan paling besar”[17]
Sikap Rumi terhadap kemapanan materi duniawi tersebut
juga terceminkan dalam semangat ajaran Kyai Dahlan yang mengajarkan etos welas asih dalam setiap
perilaku kehidupan manusia guna memperoleh kesempurnaan. Watak dan sifat orang
yang tidak memiliki belas kasih dan segala perbuatannya hanya berorientasi pada
kesenangan semata, maka hal itu hanya akan menjadikan kesia-siaan. Etos
tersebut juga menganjurkan pada pengorbanan harta benda dalam memperoleh ketinggian
derajat di sisi Tuhan.[18]
Dalam bukunya yang berjudul
Fihi Ma Fihi, Maulana Rumi sering kali menyinggung soal kepemilikan materi
seseorang. Sebab dalam tradisi kaum sufi diketahui bahwa materi duniawi (harta)
merupakan salah satu beban yang akan menghambat proses penyucian diri dari
segala bentuk syahwat. Maulana Rumi menuliskan :
“Di satu sisi, ada orang yang tidak puas
pada lautan; sementara yang lain merasa puas hanya dengan beberapa tetes air
saja karena lebih dari beberapa tetes itu justru akan berbahaya baginya. Hal
ini tidak hanya terjadi di dunia rasa, ilmu, dan hikmah, tetapi terjadi di
semua hal. Baik kekayaan, emas, atau logam, semuanya tak terbatas dan tak
berpuncak. Tapi semua itu diberikan sesuai dengan kadar kemampuan seseorang,
sebab seseorang tidak akan mampu memikul sesuatu melebihi kemampuannya, atau
dia akan menjadi gila karenanya.
Tidakkah kamu lihat bagaimana Fir’aun yang
ketika kekuasaan dan harta yang dilimpahkan padanya melebihi kemampuannya, ia
kemudian menyatakan dirinya sebagai Tuhan?”[19]
Maulana Rumi menekankan
nilai-nilai hikmah dalam kepemilikan sekaligus penggunaan harta yang sejalan dengan tuntunan ajaran agama
guna dapat mewujudkan perbaikan ekonomi itu sendiri. Sebab keseimbangan ekonomi
– baik dalam skala kecil (individu) maupun skala besar (masyarakat) – merupakan
salah satu nilai yang perlu dicapai.
Mengenai Hifẓ al-‘Aql (perlindungan akal), yang hingga akhir-akhir ini masih terbatas
pada maksud larangan minum-minuman keras dalam Islam, sekarang sudah berkembang
dengan memasukkan ‘pengembangan pemikiran ilmiah’, ‘perjalanan menuntut ilmu’,
‘melawan mentalitas taklid’, dan ‘mencegah mangalirnya tenaga ahli keluar
negeri’.[20] Akal dalam pandangan Al- Ghozali
adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman yang dilaluinya sehingga pada gilirannya akal
tersebut menghaluskan budinya. [21]
Jalaluddin Rumi
meletakkan akal dan pengetahuan lahiriah sebagai pendahuluan dan jembatan bagi
pengetahuan yang lebih tinggi dan sempurna, akan tetapi bukan sebagai puncak
dan kesempurnaan pengetahuan. Akal
digambarkar oleh Maulana Rumi dalam berbagai bentuk kata yang bervariasi,
seperti: guru yang sabar, menteri yang setia terhadap raja, mufti, pegawai
pasar, ataupun pejabat polisi. Semuanya dituangkan olehnya dalam bait-bait
syairnya.
Akal diibaratkan bagai
seorang pemandu yang diperlukan dalam suatu perjalanan dan juga sesuatu yang
tidak menyadari misteri luar biasa, cinta. [22] Penggunaan akal tanpa diiringi dengan keimanan
pada agama dan kepercayaan pada keterbatasan akan membuat manusia
mempertuhankan akal dan terjerumus dalam jurang kesalahan. [23]
Maulana Rumi menjelaskan
tentang kedudukan akal dalam tubuh manusia dengan menganalogikannya seperti
seorang raja dalam tubuh manusia. Sehingga apa yang dikerjakan akal akan
berpengaruh kepada seluruh bagian tubuh manusia lainnya. Dengan mengikuti
keingingan akal yang sehat, maka pekerjaan seluruh anggota tubuh yang lain akan
tetap berada pada koridornya. Lebih lengkapnya Maulana Rumi menjelaskan sebagai
berikut:
“Akal itu seperti raja dalam tubuh manusia.
Selama anggota tubuh yang lain patuh pada akal, maka semua urusan akan berada
pada jalan yang benar. Tapi jika anggota tubuh itu tidak patuh kepadanya, maka
semua urusan akan rusak. Tidakkah kamu lihat ketika seorang mabuk karena
meminum alkohol, berapa banyak kerusakan yang diperbuat oleh tangan, kaki,
mulut, dan anggota tubh lainnya? Kemudian di hari berikutnya, ketika ia sadar,
ia berkata, ‘ah, apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku memukul? Kenapa aku
mencaci?’”[24]
Apa yang disampaikan Maulana
Rumi di atas, kiranya sejalan dengan sepenggal syair(Mahfudhzat) yang
tak asing di telinga kita :
العقلُ الشليمُ في الجسمِ السليمِ
Pernyataan ini menegaskan
tentang adanya keterhubungan mekanis antara akal dengan raga, yang mana antara
satu dengan yang lainnya saling memberikan pengaruh.
“Sama seperti akal yang berposisi sebagai
raja dalam tubuh manusia, jika dihubungkan dengan seorang wali, maka semua
eksistensi yang disebut makhluk – dengan seluruh potensi akal, pengetahuan,
perenungan, dan ilmu-ilmu mereka – adalah tubuh umat manusia dan wali tersebut
akal di tengah-tengah semua eksistensi itu. Dengan demikian, ketika manusia
(tubuh) tidak patuh pada wali (akal) yang menjadi raja bagi mereka, maka segala
urusan mereka akan menjadi kacau dan mereka akan menyesal.”[25]
Dalam
penyampaiannya tersebut, Maulana Rumi memposisikan akal pada tingkatan daaruriyyat
yang harus dijaga dari kerusakan, yang salah satunya timbul dengan mengkonsumsi
alkohol. Ia dengan tegas menggambarkan tentang kondisi seseorang yang telah
hilang akalnya disebabkan minum minuman keras, dimana efek yang didatangkan
dari minum-minuman keras tersebut dapat menjadikan seseorang tak sadarkan diri
dengan apa yang ia perbuat. Peringatan yang disampaikan oleh Maulana Rumi
tersebut merupakan bentuk implementasi dari penyampaian nilai-nilai Islam yang
beliau lakukan mengingat betapa bahayanya kondisi seseorang yang sedang
diliputi keadaan mabuk yang disebabkan oleh minuman keras (khamr). Dalam
Surat An-Nisa ayat 43, dijelaskan tentang hal ihwal seseorang yang dilarang
untuk melaksanakan perintah sholat apabila ia sedang dalam kondisi mabuk
(hilang akal) – disebabkan khamr - .
يَا أَيُّهاَ
الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا
تَقْرَبُوْا الصَّلَاةَ وَ أَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا ماَ تَقُوْلُوْنَ
Menurut Maulana Rumi, makhluk
Allah SWT terbagi ke dalam tiga jenis: Pertama adalah malaikat. Yaitu
mereka yang mencurahkan seluruh energi dan kekuatan pada diri mereka secara
murni untuk beribadah. Kedua adalah binatang. Yang mana di dalam diri
mereka hanya terdapat nafsu belaka. Kemudian yang ketiga adalah manusia
yang lemah.
Dalam
menjelaskan tentang kedudukan manusia sebagaimana yang telah disebutkan di
atas, Maulana Rumi menjelaskan sebagai berikut:
“Mereka memiliki akal dan juga hawa nafsu.
Setengah dari dirinya adalah malaikat, dan setengahnya yang lain adalah
binatang. Mereka selalu berada dalam pergulatan dan peperangan. “Barang siapa
yang akalnya mengalahkan hawa nafsunya, maka ia lebih mulia dari malaikat, dan
barang siapa yang hawa nafsunya mengalahkan akalnya, maka ia lebih rendah dari
binatang.””
“sebagian anak cucu Adam lebih memilih untuk
mengikuti akalnya ketimbang hawa nafsunya sehingga mereka sampai pada tingkat
malaikat dan cahaya murni. Sebagian yang lain lebih memilih untuk memenangkan
hawa nfsunya ketimbang akal, sehingga mereka benar-benar menjadi seperti binatang.
Sedangkan sisanya masih terus dalam pergulatan antara hawa nafsu dan akal.”[26]
[1] Jasser Auda, Membumikan
Hukum Islam melalui Maqashid syari’ah, alih bahasa Rosidin dan ‘Ali ‘Abd
el-Mun’im, judul terjemahan, Cet.1, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2015), 22.
[2] Samsul Munir
Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: AMZAH, 2012), 78.
[3]
M. Amin Syukur,
tasawuf sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 4.
[4] ‘Isa ‘Ali
al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi:Mengarungi Samudra Kebijaksanaan, diterjemahkan
dari terjemahan Arab oleh Abdul Latif, Cet.1, (Yogyakarta: FORUM, 2017), 381.
[5] Ibid., 81-82.
[6] Ibid., 326.
[7]
Miswari, Senandung
Cinta Penuh Makna: Analisa Filosofis Puisi Jalaluddin Rumi, Jurnal
Al-Mabhats Jurnal Penelitian Sosial Agama, Vol. 3 No. 1 tahun 2018, hal.
35.
[8] Ibid.,
30.
[9] ‘Isa ‘Ali
al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi:..., 39.
[10] Ibid., 58.
[11] M. Hasan
Ubaidillah, “Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Good Governance di
Indonesia”, Jurnal Al-Qanun, Vol. 11, No. 1, Juni 2008, 120.
[12] ‘Isa ‘Ali
al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi:..., 205-206.
[13] Miswari,
Senandung ..., 30.
[14] ‘Isa ‘Ali
al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi:..., 167-168.
[15] Wawan Arif,
(Pengh.), Semesta Matsnawi: Melintas Batas Cakrawala Kerinduan, (Yogyakarta:
FORUM, 2018), 261.
[16] M. Hasan
Ubaidillah, “Kontribusi ..., 121.
[17] Muhammad
Zaairul Haq, Jalaluddin Rumi: Terbang Menuju Keabadian Cinta Hingga Makna di
Balik Kisah, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011), 7-8.
[18] Zakiyuddin Baidhawy, Muhammadiyah dan Spirit Islam
Berkemajuan dalam Sinaran Etos Al-Qur’an, Jurnal Afkaruna, Vol. 13, No.
1, Juni 2017, 23.
[19] ‘Isa ‘Ali
al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi..., 86.
[20] Jasser Auda, Membumikan
..., 57.
[21] Andrean
Odiansyah Irawan, “Nilai-Nilai Kecerdasan Spiritual dalam Buku Fihi Ma Fihi
Karya Jalaluddin Rumi”, Skripsi, Salatiga: IAIN Salatiga, 2017, 41.
[22] Anugrah Ageng
Feri Kesit, “Akal dan Cinta dalam Pandangan Jalaluddin Rumi”, Skripsi,
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1996, 32.
[23] Fathurrahman
Djamil, “Filsafat Hukum Islam”, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 32.
[24] ‘Isa ‘Ali
al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi..., 133.
[25] ‘Isa ‘Ali
al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi..., 133.
[26] ‘Isa ‘Ali
al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi..., 185-186.