Jumat, 12 Maret 2021

مَقْصُوْدُ الشَّرْعِيِّ فِي بِدَاهَةِ الرُّوْمِي - RUMI dan apa yang ada di balik tabir


مَقْصُوْدُ الشَّرْعِيِّ فِي بِدَاهَةِ الرُّوْمِي

(Maqāṣid Syarīah dalam Bidahah (Pemikiran) Maulana Rumi)

Oleh : Muhammad Chandra

Tulisan ini akan saya buka dengan mengemukakan fakta bahwa Islam adalah agama bagi sekitar seperempat populasi umat manusia di dunia. Umat Muslim tumbuh dari kelompok kecil di Mekah pada awal abad ke-7 M hingga berdiri sebagai “Negara Islam” yang mengalahkan Kekaisaran Romawi dan Persia pada akhir abad itu juga. Islam kemudian menjadi agama bagi kebudayaan dan peradaban yang beraneka ragam di sepanjang Abad Pertengahan.[1]

Kemapanan kebudayaan yang diraih oleh Islam selama berabad-abad tak lepas  dari peran penting para Ulama serta cendikiawan muslim yang senantiasa menjaga nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam nash-nash syariah yang darinya melahirkan jawaban-jawaban atas persoalan yang timbul di tengah kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat muslim itu sendiri. Namun demikian, kiranya para ulama serta cendikiawan muslim itu pun menyadari bahwa terdapat persoalan-persoalan lain, di luar persoalan hukum Agama(Fiqh) yang juga perlu disoroti secara mendalam guna membasuh kekeringan serta memenuhi dahaga manusia yang mana tidak dapat dicarikan solusinya di dalam Fiqh.

Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa umat Muslim saat ini sedang mengalamai degradasi moral yang banyak dipengaruhi oleh terbukanya dunia informasi yang semakin radikal yang mana tidak hanya menyerang dan mempengaruhi pola kehidupan umat tetapi juga menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya berbagai penyimpangan sosial. Perlu kiranya menghadirkan sebuah nilai serta metode baru dalam menghayati ajaran-ajaran agama yang mampu mereka serap bukan hanya sampai pada tingkatan akal semata tetapi juga mampu merasuki bagian paling intim dari diri mereka, yaitu hati nurani(intuisi), agar kemudian nilai tersebut dapat mengarahkan setiap tingkah laku yang dikerjakan dapat terus sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan yang terpenting ialah tidak bertentangan dengan tujuan agama Islam itu sendiri.

Ulama Maqāṣidiyyun sepakat akan adanya maksud dan tujuan di balik setiap ketentuan Syarīah. Betapapun mereka berbeda dalam menguraikan makna Maqāṣid Syarīah , semuanya menuju satu muara, yakni terciptanya kemaslahatan dan hilangnya kemafsadatan. Menurut Abu Ishâq al-Syathibi maslahat adalah memelihara lima aspek pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Maulana Jalaluddin Rumi, yang akrab di telinga kita dengan sebutan “Rumi” merupakan salah satu grand master dalam dunia tasawuf, kredibilitas serta otoritasnya dalam dunia Tasawuf sudah tidak diragukan lagi, hal itu dibuktikan dengan masih banyaknya kajian serta penelitian yang sampai saat ini dilakukan guna memahami maksud dan inti pembahasan yang tertuang dalam karyanya. Tak heran jika karyanya yang berjudul “Matsnawi” disebut-sebut sebagai “kitab sucinya orang persia setelah Al-Qur’an” sebab tulisan tersebut ditulis oleh Rumi dalam bahasa Persia, yang merupakan bahasa atas kebangsaan Rumi itu sendiri – walaupun dalam beberapa literatur disebutkan bahwa kebangsaan Rumi adalah Turki, karena di sanalah ia tumbuh besar dan dimakamkan.

Tasawuf sendiri sebenarnya mengarahkan seseorang untuk bersikap progresif, aktif, dan produktif sebagai akibat dari pencerahan spiritualnya melalui aplikasi tasawuf praktis. Tidaklah tepat dikatakan bahwa tasawuf sebagai antikemodernan, penghambat kreativitas, dan penghalang kemajuan.[2] Dan sufisme sendiri merupakan bagian dari Syarīah Islamiyah, yakni wujud dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam. Dua sebelumnya ialah Iman dan Islam. Oleh karena itu perilaku sufi harus tetap berada dalam kerangka Syarīah Islam.[3] Dalam penjelasan ini, kita dapati adanya pergeseran point of view dalam pemahanan terhadap ajaran Tasawuf dari pemahaman yang kental akan ciri konservatif-individualis menuju pemahanan yang progresif-sosialis.

Kita bisa melihat keseriusan Maulana Rumi dalam menyoroti aspek pengembangan kualitas manusia dari apa yang telah ditulisnya baik pada Matsnawi, Fihi Ma Fihi, maupun karya lainnya yang ia tulis dalam bentuk syair dan prosa. Dalam setiap karyanya, Maulana Rumi mencoba menyebarkan pemikiran, gagasan, dan renungannya dalam untaian karangan bersajak indah menggunakan bahasa figuratif sastra (majaz), metafora (isti’aroh), tamsil, dan kias sehingga dapat memberikan pengaruh yang berbeda bagi pembaca sesuai kecenderungan jiwa masing-masing pembacanya.

Maulana Rumi sepertinya tidak meletakkan nilai-nilai Maqāṣid Syarīah pada ranah konseptual baik dalam karyanya yang berupa syair maupun dalam bentuk prosa sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama lainnya, melainkan menempatkannya pada tataran ranah filsafat yang terselubung di balik susunan kata syair-syairnya. Dalam karya Rumi yang berjudul Fihi Ma Fihi dapat kita temukan beberapa aspek yang - baik secara langsung maupun tidak - menyinggung soal Maqāṣid Syarīah, di antaranya :

Mengenai pemeliharaan/penjagaan Agama (Hifdz Din) yang oleh Eliwarti Maliki diterjemahkan menjadi haq attadayyun (hak beragama) yaitu hak untuk beribadah dan menjalankan ajaran-ajaran agama, Rumi menyebutkan istilah bagi seseorang yang menjaga agama dengan istilah Saifuddin (Pedang Agama).

Pedang agama adalah ia yang berperang untuk agama dan mempersembahkan segala usaha mereka kepada Allah semata. Dia yang mengungkap kebenaran dari kesalahan serta membedakan antara yang hak dan yang batil. Tapi sebelum itu, merekan akan mengoreksi diri dan memperbaiki etika mereka sendiri: mulailah dari dirimu sendiri. Semua nasihat akan mereka arahkan pada diri mereka sendiri.”[4]

Maulana Rumi menuliskan dalam Fihi Ma Fihi tentang keberagaman agama. Lebih lanjut Rumi menjelaskan:

Agama tidak akan pernah menjadi satu. Selalu saja ada dua atau tiga agama, dan selalu ada perang serta saling bunuh di antara mereka. Bagaimana bisa kamu menginginkan hanay ada satu agama? Agama tidak akan pernah menjadi satu kecuali di akhirat kelak, pada hari kiamat. Di dunia ini kemanunggalan agama adalah hal yang mustahil, karena setiap orang memiliki tujuan dan keinginan yang berbeda antara satu dengan yang lain[5]

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dalam Islam Shalat adalah tiang Agama, ia adalah bentuk amaliyah dzahir yang kewajibannya dikenakan kepada seluruh Muslim(Mukallaf) sebagai bentuk penyerahan diri kepada Tuhan. Dan dalam ranah kehidupan sosial msyarakat, shalat menjadi pembeda antara Muslim dengan umat beragama lainnya. Shalat merupakan pondasi agama yang harus dijaga oleh setiap muslim. Bagi Maulana Rumi, salat tidak hanya terbatas pada bentuk luarnya saja. Tetapi salat juga merupakan bentuk pekerjaan hati: “tidak ada salat tanpa kehadiran hati.” Meski pekerjaan hati itu penting, tapai kamu juga harus menghadirkan bentuknya dengan melakukan rukuk dan sujud.[6]

Hak ini seharusnya diarahkan untuk mencipta kualitas kehidupan yang lebih baik bagi diri dan masyarakat. Hak hidup haris diorientasikan pada perbaikan kualitas kehidupan manusia seutuhnya, bukan secara parsial.

Perhatian Rumi terhadap pemeliharan jiwa juga amatlah besar. Eliwarti Maliki menyebut Hifdz Nafs sebagai Hak Untuk Hidup, hak ini seharusnya diarahkan untuk mencipta kualitas kehidupan yang lebih baik bagi diri dan masyarakat. Hak hidup haris diorientasikan pada perbaikan kualitas kehidupan manusia seutuhnya, bukan secara parsial.

  Jiwa adalah wujud rohani (Hadi, 1985: 42). Bahwa alam materi, harta, kesenang-senangan duniawi bukanlah tempat sejati baginya. Jiwa harus keluar dari keterlenaan duniawi untuk membumbung ke alam ruhani. Tempat ideal dan sejati bagi jiwa.[7] Untuk menjaga keharmonisan yang berlangusng di dalam jiwa seseorang, maka orang tersebut perlu memperhatikan berbagai unsur yang dapat merusaknya, dalam banyak kesempatan Rumi menyampaikan bahwa faktor tersebar yang paling berpengaruh dalam rusaknya jiwa seseorang ialah segala bentuk material-duniawi.

Maulana Rumi melihat bahwa manusia terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan, yaitu tubuh, nafsu, dan jiwa/hati. Bagi Rumi, tubuh hanyalah kulit/selimut yang membungkus ruh. Rumi tidak begitu menyoal dalam pandangannya tentang tubuh karena ia melihat adanya komponen primordial yang lebih besar dampaknya bagi diri manusia yaitu hati. Sama seperti tokoh-tokoh sufi lainnya, konsentrasi Rumi banyak dicurahkan dalam pembahasan mengenai persoalan menjaga kesucian hati dan melawan godaan nafsu. Rumi menggambarkan nafsu diantaranya sebagai berikut:

“bila nafsu berkata meong seperti kucing, kutaruh nafsu itu di dalam tas bagaikan kucing”[8]

Menurut Maulana Rumi setiap orang memiliki sifat tamyiz pada diri masing-masing yang harus dijaga sekaligus dibersihkan dari berbagai macam kepentingan. Tamyiz adalah sifat yang selalu tersembunyi dalam jiwa manusia. Tamyiz adalah esensi murni yang terdapat di dalam diri manusia dan merupakan esensi dari tubuh manusia itu sendiri, ia berdiri di atas tubuh manusia. Pada hakikatnya, tubuh ini bergantung pada esensi itu, tetapi esensu tidak bergantung pada tubuh.[9]

Maulana Rumi sangat memperhatikan keadaan jiwa agar terhindar dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan manusia, diantaranya yaitu tentang penjagaan jiwa terhadap sifat-sifat hewani yang seringkali mengalahkan jiwa manusia. Maulana Rumi menjelaskan,

“sebenarnya (jiwa) kalian itu memiliki makanan yang lain di samping makanan (materi berupa) tidur dan makan. Di dunia yang rendah ini, kau telah melupakan makana  lain itu karena sibuk dengan makanan materi. Siang malam kamu beri makan tubuhmu. Sekarang tubuhmu seperti seekor kuda dan dunia yang rendah ini menjadi kandangnya. Makanan kuda tentu tak akan menjadi makanan penunggangnya. Karena sang penunggang memilik cara tidur, makan, dan kebahagiaan yang berbeda. Karena sifat hewan dan binatang mengalahkan jiwamu, maka tinggallah dirimu beserta kuda di kandangnya. Kau tak memiliki satu tempat pun di barisan raja-raja dan pemimpin keabadiaan. Hatimu di sana, tetapi tubuhmu mengalahkanmu, kamu tunduk pada aturannya dan masih menjadi tawanan abadinya.”[10]

Terwujudnya masyarakat yang manusiawi, adil, mandiri, baik dan bersih adalah merupakan perwujudan dari prinsip Hif al-Nafs dan Hif al-‘Aql karena fitrah manusia terletak pada optimalisasi kesadaran dalam jiwa dan akalnya. Tanggung jawab kekhalifahan yang dibebankan Tuhan kepada manusia bertumpu pada jiwa dan akal.[11]

Berkenaan dengan Hif al-Nal, kiranya perlu kita lihat juga bahwa bagi kaum sufi, termasuk Maulana Rumi, ‘kesatuan’ adalah tujuan akhir dari perjalan panjang yang mereka tempuh. Sebagai seorang makhluk yang sejatinya diciptakan berpasang-pasangan Rumi tidak menafikkan hal tersebut. Dalam kehidupannya ia menikah dengan seorang wanita  dan juga dikarunia dua orang anak, sebuah pernikahan sebagaimana umumnya yang dapat diartikan sebagai bertemunya dua orang manusia (pria-wanita) sesuai dengan naluri kemanusiaannya. Kaum sufi, termasuk juga Maulana Rumi memaknai sebuah pernikahan sebagai lambang yang menggetarkan jiwa, karena pernikahan tersebut merupakan simbol penyatuan sejati.

 “Ketahuilah bahwa mereka bagaikan pakaian bagimu, melalui mereka, kamu bisa menyucikan dirimu.”[12]

Tentang pernikahan Jalaluddin Rumi menggubah sajak yang indah:

“Betapa bahagia saat kita duduk di istana, kau dan aku

Dua sosok dan dua tubuh namun hanya satu jiwa, kau dan aku

Harum semak dan senandung burung 'kan menebarkan pesona

pada saat kita memasuki taman, kau dan aku

Bintang-bintang nan beredar kan sengaja menatap kita lama-lama:

bagi mereka, kita kan menjadi bulan, kau dan aku

Kau dan aku, yang tak terpisahkan lagi, 'kan bersatu dalam kenikmatan puncak

Bercanda ria serta bebas dari percakapan dungu, kau dan aku

Burung-burrung yang terbang di langit 'kan menatap iri

Karena kita tertawa riang gembira, kau dan aku

Sungguh ajaib, kau dan aku

Duduk di sudut yang sama di sini

pada saat yang sama berada di Irak dan Khurasan

Kau dan aku.”[13]

Dalam syair diatas Maulana Rumi memberikan gambaran dari pengalaman religiusnya tentang penyatuan dua insan yang terejawantahkan dalam proses pernikahan. Sebuah penyatuan agung antara dua raga menjadi satu kesatuan jiwa. Dalam penggambarannya tersebut, nampak Maulana begitu merasakan betapa indahnya sebuah pernikahan, peristiwa penyatuan antara dirinya dengan diri yang lain demi mencapai puncak kenikmatan yang sejati. Dari balik indahnya syair yang digubah Maulana diatas, nampaknya Rumi hendak menyampaikan pesan kepada kita bahwa pernikahan adalah satu-satunya jalan suci yang mampu mengantarkan manusia untuk bersatu dengan kekasihnya. Bagi kaum sufi pernikahan/penyatuan yang hakiki adalah bersatunya diri seorang hamba dengan Tuhannya.

Pasangan yang menikah disatukan dalam perjanjian yang kokoh dengan akad nikah (mitsaaqan ghalidzan). Hal ini merujuk pada bunyi ayat Al-Qur’an yang menyebutkan :

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظً

Pernikahan merupakan cara ataupun jalan yang ditempuh untuk memperoleh keturunan serta melanjutkan kehidupan. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Maulana Rumi sendiri telah melangsungkan pernikahan sebanyak dua kali semasa hidupnya – yaitu dengan Mu’mine Khattun dan Jauhar Khattun. Melalui pernikahanlah seorang manusia dapat memperbanyak keturunannya. Melalui pernikahan pula proses kaderisasi umat dilangsungkan secara utuh dalam sebuah rumah tangga yang kemudian menyokong berkembangnya proses pembentukan sebuah kelompok masyarakat. Oleh karenanya, mewujudkan sebuah keluarga sakinah dan menjaga keterbinaan anggota keluarga di dalam ajaran-ajaran Islam merupakan aspek yang perlu diperhatikan oleh setiap individu guna terwujudnya kehidupan sosial yang di ridhoi Allah.

Maulana Rumi juga menjelaskan tentang bagaimana etika menjaga kehormatan seorang (mempelai) perempuan yang harus dijaga dan dirahasiakan dari khalayak umum. Lebih lanjut beliau menuliskan:

ketika mempelai perempuan menampakkan diri di hadapan kalian dan rahasia-rahasia mereka tersingkap, berhati-hatilah, jangan kamu ceritakan ini pada orang asing, jangan kamu jelaskan apa yang kamu saksikan pada orang lain. Jika seorang perempuan cantik dan layak dipuja menyerahkan dirinya kepadamu secara pribadi di rumahmu, sembari berkata: “jangan tunjukkan diriku pada orang lain, karena aku adalah milikmu” maka apakah  oleh dan layak bagimu untuk mempertontonkannya di pasar-pasar.”[14]

Bahwa untuk dapat memelihara keturunan dalam sebuah hubungan kekeluargaan(rumah tangga), dipersyaratkan adanya jalinan kasih sayang dan rasa cinta yang besar diantara dua insan. Dalam hal keagungan cinta, terdapat salah satu syair Maulana Rumi :

Cinta membuat lautan mendidih seperti sebuah ceret

Cinta meremukkan gunung seperti pasir

Cinta memecah langit dengan seratus pecahan

Cinta dengan tak bisa disadari membuat bumi bergetar.[15]

Hif al-Nal dalam interpretasi luas juga dapat dipahami sebagai upaya menjaga persaudaraan, memperluas silaturahmi, serta membangun kebersamaan sebagai ikhtiar dalam menjaga entitas dari kepunahan.[16]

Hif al-Maal yang dapat diartikan sebagai sebuah upaya menjaga segala kepemilikan terhadap materi(harta) dari unsur-unsur yang dapat merusak harta itu sendiri merupakan keharusan yang perlu diperhatikan bagi si pemilik harta dalam rangka menciptakan kemaslahatan dari segala sesuatu yang keluar dari hartanya tersebut. Sejauh harta tersebut digunakan di jalan Allah, sejauh itu juga kebaikan yang akan dihasilkan darinya. Dalam Al-Qur’an Surat  Ali Imran ayat 92 :

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Rumi bercerita bahwa pernah ada seorang sufi bertanya kepada seorang pria kaya. “mana yang lebih kau cintai, dosa atau kekayaan?” pria itu menjawab bahwa dia lebih mencintai kekayaan. Sang sufi lalu berkata “yang kau katakana itu tidak benar, sebab kau akan meninggalkan kekayaanmu dan akan tetap membawa serta semua perbuatanmu”. Lanjutnya “laksanakanlah sesuatu agar kau bisa membawa apa yang paling kau cintai (yaitu kekayaan), dengan membelanjakannya di jalan yang baik dan untuk bersedekah, dan dengan demikian kau bisa menyerahkan kekayaanmu kepada Allah sebelum kau datang menghadap Allah, sebab hal itu telah ditulis dalam Al-Qur’an. Dan apa pun yang kau serahkan sebelum kau datang sendiri akan diterima oleh Tuhanmu, itulah pahala yang paling baik dan paling besar[17]

Sikap Rumi terhadap kemapanan materi duniawi tersebut juga terceminkan dalam semangat ajaran Kyai Dahlan yang mengajarkan etos welas asih dalam setiap perilaku kehidupan manusia guna memperoleh kesempurnaan. Watak dan sifat orang yang tidak memiliki belas kasih dan segala perbuatannya hanya berorientasi pada kesenangan semata, maka hal itu hanya akan menjadikan kesia-siaan. Etos tersebut juga menganjurkan pada pengorbanan harta benda dalam memperoleh ketinggian derajat di sisi Tuhan.[18]

Dalam bukunya yang berjudul Fihi Ma Fihi, Maulana Rumi sering kali menyinggung soal kepemilikan materi seseorang. Sebab dalam tradisi kaum sufi diketahui bahwa materi duniawi (harta) merupakan salah satu beban yang akan menghambat proses penyucian diri dari segala bentuk syahwat. Maulana Rumi menuliskan :

Di satu sisi, ada orang yang tidak puas pada lautan; sementara yang lain merasa puas hanya dengan beberapa tetes air saja karena lebih dari beberapa tetes itu justru akan berbahaya baginya. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia rasa, ilmu, dan hikmah, tetapi terjadi di semua hal. Baik kekayaan, emas, atau logam, semuanya tak terbatas dan tak berpuncak. Tapi semua itu diberikan sesuai dengan kadar kemampuan seseorang, sebab seseorang tidak akan mampu memikul sesuatu melebihi kemampuannya, atau dia akan menjadi gila karenanya.

Tidakkah kamu lihat bagaimana Fir’aun yang ketika kekuasaan dan harta yang dilimpahkan padanya melebihi kemampuannya, ia kemudian menyatakan dirinya sebagai Tuhan?[19]

Maulana Rumi menekankan nilai-nilai hikmah dalam kepemilikan sekaligus penggunaan harta  yang sejalan dengan tuntunan ajaran agama guna dapat mewujudkan perbaikan ekonomi itu sendiri. Sebab keseimbangan ekonomi – baik dalam skala kecil (individu) maupun skala besar (masyarakat) – merupakan salah satu nilai yang perlu dicapai.

Mengenai Hif al-‘Aql (perlindungan akal), yang hingga akhir-akhir ini masih terbatas pada maksud larangan minum-minuman keras dalam Islam, sekarang sudah berkembang dengan memasukkan ‘pengembangan pemikiran ilmiah’, ‘perjalanan menuntut ilmu’, ‘melawan mentalitas taklid’, dan ‘mencegah mangalirnya tenaga ahli keluar negeri’.[20] Akal dalam pandangan Al- Ghozali adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman yang dilaluinya sehingga pada gilirannya akal tersebut menghaluskan budinya. [21]

Jalaluddin Rumi meletakkan akal dan pengetahuan lahiriah sebagai pendahuluan dan jembatan bagi pengetahuan yang lebih tinggi dan sempurna, akan tetapi bukan sebagai puncak dan kesempurnaan pengetahuan. Akal digambarkar oleh Maulana Rumi dalam berbagai bentuk kata yang bervariasi, seperti: guru yang sabar, menteri yang setia terhadap raja, mufti, pegawai pasar, ataupun pejabat polisi. Semuanya dituangkan olehnya dalam bait-bait syairnya.

Akal diibaratkan bagai seorang pemandu yang diperlukan dalam suatu perjalanan dan juga sesuatu yang tidak menyadari misteri luar biasa, cinta. [22] Penggunaan akal tanpa diiringi dengan keimanan pada agama dan kepercayaan pada keterbatasan akan membuat manusia mempertuhankan akal dan terjerumus dalam jurang kesalahan. [23]

Maulana Rumi menjelaskan tentang kedudukan akal dalam tubuh manusia dengan menganalogikannya seperti seorang raja dalam tubuh manusia. Sehingga apa yang dikerjakan akal akan berpengaruh kepada seluruh bagian tubuh manusia lainnya. Dengan mengikuti keingingan akal yang sehat, maka pekerjaan seluruh anggota tubuh yang lain akan tetap berada pada koridornya. Lebih lengkapnya Maulana Rumi menjelaskan sebagai berikut:

Akal itu seperti raja dalam tubuh manusia. Selama anggota tubuh yang lain patuh pada akal, maka semua urusan akan berada pada jalan yang benar. Tapi jika anggota tubuh itu tidak patuh kepadanya, maka semua urusan akan rusak. Tidakkah kamu lihat ketika seorang mabuk karena meminum alkohol, berapa banyak kerusakan yang diperbuat oleh tangan, kaki, mulut, dan anggota tubh lainnya? Kemudian di hari berikutnya, ketika ia sadar, ia berkata, ‘ah, apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku memukul? Kenapa aku mencaci?’[24]

Apa yang disampaikan Maulana Rumi di atas, kiranya sejalan dengan sepenggal syair(Mahfudhzat) yang tak asing di telinga kita :

العقلُ الشليمُ في الجسمِ السليمِ

Pernyataan ini menegaskan tentang adanya keterhubungan mekanis antara akal dengan raga, yang mana antara satu dengan yang lainnya saling memberikan pengaruh.

Sama seperti akal yang berposisi sebagai raja dalam tubuh manusia, jika dihubungkan dengan seorang wali, maka semua eksistensi yang disebut makhluk – dengan seluruh potensi akal, pengetahuan, perenungan, dan ilmu-ilmu mereka – adalah tubuh umat manusia dan wali tersebut akal di tengah-tengah semua eksistensi itu. Dengan demikian, ketika manusia (tubuh) tidak patuh pada wali (akal) yang menjadi raja bagi mereka, maka segala urusan mereka akan menjadi kacau dan mereka akan menyesal.[25]

Dalam penyampaiannya tersebut, Maulana Rumi memposisikan akal pada tingkatan daaruriyyat yang harus dijaga dari kerusakan, yang salah satunya timbul dengan mengkonsumsi alkohol. Ia dengan tegas menggambarkan tentang kondisi seseorang yang telah hilang akalnya disebabkan minum minuman keras, dimana efek yang didatangkan dari minum-minuman keras tersebut dapat menjadikan seseorang tak sadarkan diri dengan apa yang ia perbuat. Peringatan yang disampaikan oleh Maulana Rumi tersebut merupakan bentuk implementasi dari penyampaian nilai-nilai Islam yang beliau lakukan mengingat betapa bahayanya kondisi seseorang yang sedang diliputi keadaan mabuk yang disebabkan oleh minuman keras (khamr). Dalam Surat An-Nisa ayat 43, dijelaskan tentang hal ihwal seseorang yang dilarang untuk melaksanakan perintah sholat apabila ia sedang dalam kondisi mabuk (hilang akal) – disebabkan khamr - .

يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تَقْرَبُوْا الصَّلَاةَ وَ أَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا ماَ تَقُوْلُوْنَ

Menurut Maulana Rumi, makhluk Allah SWT terbagi ke dalam tiga jenis: Pertama adalah malaikat. Yaitu mereka yang mencurahkan seluruh energi dan kekuatan pada diri mereka secara murni untuk beribadah. Kedua adalah binatang. Yang mana di dalam diri mereka hanya terdapat nafsu belaka. Kemudian yang ketiga adalah manusia yang lemah.

Dalam menjelaskan tentang kedudukan manusia sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Maulana Rumi menjelaskan sebagai berikut:

Mereka memiliki akal dan juga hawa nafsu. Setengah dari dirinya adalah malaikat, dan setengahnya yang lain adalah binatang. Mereka selalu berada dalam pergulatan dan peperangan. “Barang siapa yang akalnya mengalahkan hawa nafsunya, maka ia lebih mulia dari malaikat, dan barang siapa yang hawa nafsunya mengalahkan akalnya, maka ia lebih rendah dari binatang.”

sebagian anak cucu Adam lebih memilih untuk mengikuti akalnya ketimbang hawa nafsunya sehingga mereka sampai pada tingkat malaikat dan cahaya murni. Sebagian yang lain lebih memilih untuk memenangkan hawa nfsunya ketimbang akal, sehingga mereka benar-benar menjadi seperti binatang. Sedangkan sisanya masih terus dalam pergulatan antara hawa nafsu dan akal.[26]



[1] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqashid syari’ah, alih bahasa Rosidin dan ‘Ali ‘Abd el-Mun’im, judul terjemahan, Cet.1,  (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2015), 22.

[2] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: AMZAH, 2012), 78.

[3] M. Amin Syukur, tasawuf sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 4.

[4] ‘Isa ‘Ali al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi:Mengarungi Samudra Kebijaksanaan, diterjemahkan dari terjemahan Arab oleh Abdul Latif, Cet.1, (Yogyakarta: FORUM, 2017), 381.

[5] Ibid., 81-82.

[6] Ibid., 326.

[7] Miswari, Senandung Cinta Penuh Makna: Analisa Filosofis Puisi Jalaluddin Rumi, Jurnal Al-Mabhats Jurnal Penelitian Sosial Agama, Vol. 3 No. 1 tahun 2018, hal. 35.

[8] Ibid., 30.

[9] ‘Isa ‘Ali al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi:..., 39.

[10] Ibid., 58.

[11] M. Hasan Ubaidillah, “Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Good Governance di Indonesia”, Jurnal Al-Qanun, Vol. 11, No. 1, Juni 2008, 120.

[12] ‘Isa ‘Ali al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi:..., 205-206.

[13] Miswari, Senandung ..., 30.

[14] ‘Isa ‘Ali al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi:..., 167-168.

[15] Wawan Arif, (Pengh.), Semesta Matsnawi: Melintas Batas Cakrawala Kerinduan, (Yogyakarta: FORUM, 2018), 261.

[16] M. Hasan Ubaidillah, “Kontribusi ..., 121.

[17] Muhammad Zaairul Haq, Jalaluddin Rumi: Terbang Menuju Keabadian Cinta Hingga Makna di Balik Kisah, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011), 7-8.

[18] Zakiyuddin Baidhawy, Muhammadiyah dan Spirit Islam Berkemajuan dalam Sinaran Etos Al-Qur’an, Jurnal Afkaruna, Vol. 13, No. 1, Juni 2017, 23.

[19] ‘Isa ‘Ali al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi..., 86.

[20] Jasser Auda, Membumikan ..., 57.

[21] Andrean Odiansyah Irawan, “Nilai-Nilai Kecerdasan Spiritual dalam Buku Fihi Ma Fihi Karya Jalaluddin Rumi”, Skripsi, Salatiga: IAIN Salatiga, 2017, 41.

[22] Anugrah Ageng Feri Kesit, “Akal dan Cinta dalam Pandangan Jalaluddin Rumi”, Skripsi, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1996, 32.

[23] Fathurrahman Djamil, “Filsafat Hukum Islam”, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 32.

[24] ‘Isa ‘Ali al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi..., 133.

[25] ‘Isa ‘Ali al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi..., 133.

[26] ‘Isa ‘Ali al-‘Akub, “Fihi Ma Fihi..., 185-186.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MASIHKAH KITA?
Sesore ini, Sedang hujan kian membasahi Di sela-sela bale bambu depan rumahku Kuselipkan sepilihan rindu Sambil terus bermunajat Pada semesta sore yang menjadi waktu paling romantis?
MENGUNGKAP YANG TERSEMBUNYI
Cinta, menurut Jalaluddin ar-Rumi, merupakan cahaya kehidupan dan nilai kemanusiaan. Sesungguhnya cinta itu kekal; jadi harus diberikan kepada yang kekal pula. Ia tidak pantas diberikan kepada yang ditakdirkan fana’
SEBELUM KUPERGI BERLADANG
Sama seperti kemarin, aku berdo’a sebelum beranjak menuju ladang kopiku yang juga merupakan warisan orang tuaku. Di sela do’aku, Amad; begitu aku memanggil anakku; datang menghampiriku dengan membawa setoples emping dan secangkir kopi khas racikan keluarga. “Bah, ini kubuatkan kopi untuk abah...spesial dari anak abah tercinta”, ujarnya sambil menaruh secangkir kopi hangat di hadapanku.